Selasa, 13 Januari 2009

Meneliti Wanita Kota di Jakarta

1. Pendahuluan

Studi yang kami lakukan adalah mengenai wanita kota dan kehidupannya dengan fokus terutama pada periode masa suburnya serta kegiatan-kegiatannya baik di dalam maupun di luar rumah. Dengan studi ini kami bermaksud untuk lebih mengetahui dan mengenal aspek kehidupan wanita dari segi pandangannya sendiri. Studi mengenai kehidupan wanita boleh dikata langka, kecuali

adanya beberapa studi dengan pendekatan antropologi, tetapi itu pun sangat eksklusif, biasanya dihubungkan dengan kehidupan keluarga, ataupun dengan sistem kekerabatan. Dari segi ekonomi misalnya boleh dikata sangat sedikit studi yang memberi fokus pada partisipasi wanita angkatan kerja, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Memang sejak lama wanita dianggap sebagai tenaga nomor dua dan diabaikan potensinya dalam labour force participation. Akhir-akhir ini terutama Para ahli penduduk danjuga Para ahli ekonomi pembangunan makin menyadari arti penting ikut sertanya kaum wanita bekerja di luar rumah, karma ada relevansinya dengan kebijaksanaan menurunkan tingkat pertumbuhan penduduk di negara-negara yang sedang berkembang.

Sementara itu sudah lama tYtenjadi rahasia umum bahwa wanita Indonesia ini merupakan pengelola keuangan yang paling pandai dalam mengatur keuangan rumah tangga. Hal ini dihubungkan dengan keadaan sosial-ekonomi yang labil, dengan gaji suami yang hampir tak cukup di akhir bulan, malah Bering kali hanya sampai pertengahan bulan, sebenarnyalah mereka yang paling banyak terkena pengaruh: Mereka pulalah yang memeras otak bagaimana agar dapurnya dapat terus bei-asap. Inilah salah satu aspek yang menarik untuk diteliti. Apakah pengetahuan mereka dalam mengatur ekonomi rumah tangga ada penglruhnya terhadap keputusan-keputusan lainnya, seperti misalnya tentang keinginan mempunyai anak? Samp

seberapa jauhkah sebenarnya mereka ikut terlibat secara ekonomi akti dalam menanggulangi periuk-belanga rumah tangga itu. Untuk yan terakhir ini, kami ingin menguji hipotesa yang mengatakan bahwa ikut sertanya wanita dalam tenaga kerja akan mempengaruhi fertilita

secara negatif.

Di masyarakat maju ada masa-mass dalam kehidupan seorang wanita dewasa terlibat dalam kegiatan-kegiatan di dalam rumah tangga, seperti: menikah, melahirkan dan mengasuh anak dan kemudian kembali lagi ke pasaran kerja, yaitu sesudah anak-anak cukup besar untuk ditinggalkan. Di masyarakat lain, seperti d Indonesia, keadaan tampaknya berlainan. Pilihan itu boleh dikata ama kecil, akan tetapi lebih banyak terdorong oleh keadaan keluarga dan, keadaarr ekonomi keluarga. Sebab itu penelitian ini lebih menekankan pada keadaan ekonomi keluarga dan pengaruh keluarga. Tampaknya tuntutan masyarakat yang meminta seorang wanita menjadi istri dan ibu rumah tangga yang baik, di samping tuntutan dapur yang meminta ikut sertanya wanita aktifsecara ekonomi, membentuk pola pekerjaan yang lain bagi wanita di Indonesia, dibanding dengan saudarasaudaranya dari negara-negara maju misalnya. Dalam pekerjaan wanita Indonesia lebih menjurus kepada kombinasi antara pekerjaanpekerjaan yang dapat menghasilkan pang tanpa mengganggu fungsinya sebagai istri dan ibu rumah tangga yang balk seperti yang dituntut oleh masyarakat. Di Indonesia berkembang berbagai jenis' pekerjaan yang self employed yang tampaknya sangat sesuai dengan' pola tersebut. Apakah jenis pekerjaan ini ada pengaruhnya terhadap' tingkat fertilitas? Itulah beberapa hal yang saya cari dalam penelitian ini.

2. Pemilihan Sample

Sementara itu akan sangat sukar kalau kita tidak membatasi diri pada wanita mana yang akan diteliti, mengingat demikian besarnya variasi, baik dilihat dari segi pendidikan, sosial-ekonomi, kesuku-bangsaan dan sebagainya. Dalam serangkaian diskusi dan pertemuan yang kami lakukan sebelum penelitian, kami telah mengambil keputusan mengenai hal ini. Hal yang akan kami teliti adalah wanita-wanita ibu rumah tangga yang kita sebut middle class. Ada beberapa alasan mengapa justru para ibu dari golongan ini yang akan kami pilih. Alasan yang utama adalah bahwa sebagian terbesar dari mereka adalah istri-istri pegawai negen yang mempunyai gaji tak cukup, sehingga kami rasa akan sangat cocok sekah kalau kita ingin mengetahui rahasia wanita Indonesia dalam memutar otak untuk menjalankan rumah tangganya. Pilihan ini juga dianggap ideal, oleh karena kami membayangkan sukarnya komunikasi dengan golongan-golongan lain, baik dengan golongan yang lebih atas maupun dengan golongan yang lebih bawah, mengingat para pelaku wawancara yang kira-kira berasal dari golongan middle class tetapi yang dapat menyelamatkan diri berkat kepandaiannya, yang tetap menjadi rahasia.

Hal yang menjadi persoalan sekarang adalah siapakah yang dapat disebut dengan golongan kelas menengah ini. Di sini kami menemui kesulitan untuk menetapkannya. Akan menjadi amat rumit kalau kita mengambil konsep sosiologi mengenai kelas, mengingat begitu luasnya kota Jakarta, di samping keperluan kami yang hanya akan mengambil sampel yang kecil saja. Sebab itu disepakati pula bahwa metode sampling kami adalah purposive sampling. Untuk menentukan responden kelas menengah, kami pergunakan daerah tempat tinggal, di samping organisasi wanita sebagai sumber sampel (sample pole), yang lebih-kurang diperkirakan menampung mereka dari golongan kelas menengah. Untuk itu kami pilih daerah Grogol-Petojo dan Rawamangun-Utan Kayu sebagai daerah-daerah penelitian yang kami anggap secara mayoritas didiami oleh pegawai negeri dari golongan menengah daerah sumber sampel yang satu serta oiganisasi wanita dan beberapa jenis profesi lainnya seperti guru, juru tik, asisten apoteker yang kami anggap menjadi pekerjaan bagi orang kelas menengah, sebagai sumber sampel kami yang lain.

Kami juga tertarik pada program Keluarga Berencana, yang sekarang menjadi kebijaksanaan pemerintah, dengan melihat mereka yang dianggap golongan menengah dan tinggal di jantung kota Jakarta, sampai berapa jauh pengetahuan mereka tentang Keluarga Berencana. Kami juga ingin melihat apakah ada pengaruhnya dari kepandaian mengemudikan rumah tangga dengan keputusankeputusan yang mereka ambil sehubungan derigan Keluarga Berencana: apakah, misalnya, ada pengaruhnya dengan pendidikan yang mereka capai; apakah ada pengaruhnya dengan suasana rumah di mana mereka dibesarkan; apakah ada pengaruhnya dengan pengalaman kerja, ikut sertanya dengan organisasi-organisasi, dengan suku bangsa dari mana mereka berasal dan sebagainya. Dalam hal ini kami juga tertarik dengan aspirasi mereka terhadap anak-anak mereka, sehingga dengan demikian sebenarnya kami mengumpulkan data dari tiga generasi, yaitu responden sendiri, ibu responden dan anak-anak responden.

Sampel kami adalah wanita yang bersuami dan paling sedilq mempunyai satu anak yang hidup dan masih dalam masa subur. Kax mengambil jumlah sampel yang tidak besar, yaitu lebih-kurang 15~ orang, oleh karena kami akan mengadakan penelitian yang mendalam Mungkin secara kuantitatif jumlah ini tidak dapat diangga~ representatif, akan tetapi sesuai dengan tujuan kami, kami bermaksui mencari data yang kualitatif.

Seperti spa yang telah diuraikan di atas, tentu saja akan sangat sukau bagi kami untuk memilih 150 responden dari sekian juta wanita Jakarta. Oleh karena itu sesuai dengan metode sampling kami yank purposive, kami kemudian memilih beberapa organisasi sebagai wada~ atau sample pole kami. Masalahnya akan menjadi sukar, jika sekiranya tidak melalui sample pole, karena alternatif lain berarti bahwa kami memilihnya melalui Rukun Kampung misalnya, yang jumlahnya lebih-kurang 21.000 buah; belum lagi heterogenitas yang tinggi dari para calan responden kami jika memilih melalui prosedur itu, di samping beberapa alasan praktis lainnya.

Mengenai dasar dari pemilihan sampel, kami bertolak dari beberap~ variabel yang dapat mempengaruhi fertilitas seperti spa yang tela disebutkan di atas, yaitu: pendidikan, pekerjaan, pengalaman bekerj~ dan berorganisasi para responden dan sikap mereka terhadap slat-alai kontraseptif dan suku bangsa. Memang ads kenyataan tidak semu dasar dan pertimbangan seperti yang disebut di atas dapat kami ikuti tetapi kami usahakan hal itu sampai sejauh mana dengan mencob membuktikan pokok hipotesa kami dengan memilih 50 ibu rums tangga dan 50 wanita yang bekerja.

Hipotesa kedua berhubung dengan faktor perbedaan suku bangsa Ada dugaan bahwa beberapa suku bangsa tidak begitu aktifturut sert dalam program Keluarga Berencana. Salah satu di antaranya adalah suku bangsa Cina, yang kemudian juga menjadi golongan dari mana kami pilih responden kami. Satu suku bangsa lain dari mana kami juga pilih responden adalah suku bangsa Minahasa, meskipun dasat pemilihan tidak sama dengan pada suku bangsa Cina. Perhatian kami dalam hal memilih suku Minahasa adalah adanya dugaan bahwa dalam masyarakat luas suku bangsa itu mempunyai orientasi nilai budaya ke arah kebudayaan Barat, yang lebih banyak dibandingkan dengan suku bangsa lain di Indonesia. Kecuali itu ads pertimbangan pengetahuan kita mengenai suku bangsa ini sangat sedikit dibandingkan misalnya dengan suku-suku bangsa jaws atau Sunda ataG Minangkabau. Justru dari suku-suku bangsa yang terakhir ini, kami duga akan terkumpul dari sampel ibu rumah tangga dan wanita pekerja. Dari kedua suku bangsa ini kami pilih 52 ibu dan dengan demikian kami mempunyai 150 ibu yang akan kami teliti.

Adapun prosedur pemilihan responden adalah sebagai berikut: Mula-mula kami memilih organisasinya secara umum, kemudian kami menetapkan lokasinya yang kami duga menjadi tempat tinggal golongan menengah ataupun menjadi daerah pekerjaan golongan menengah. Langkah selanjutnya adalah menghubungi pimpinan dari wadah yang kami pilih, dan membicarakannya mengenai maksud dan tujuan penelitian. Dapat dikatakan di sini bahwa pada umumnya para responden kami sangat responsif. Kemudian kami membicarakan dengan pimpinan, daerah-daerah mana yang akan kami teliti (sesuai dengan kriteria kami), dan dengan surat dari pimpinan kami datangi organisasi tingkat cabang, yang pada umumnya sudah diberitahukan sebelumnya akan kedatangan kami. Dari merekalah kami mendapat daftar nama-nama anggota, yang kemudian kami seleksi dengan membuat daftar baru berdasarkan atas kriteria kami, antara lain status perkawinan, jumlah anak, dan umur dalam masa subur. Kami berusaha untuk melihat distribusi umur yang seimbang, meskipun tidak selamanya hal itu mungkin. Sebenarnya kami menginginkan lebih banyak responden dengan umur muda di bawah 35 tahun, akan tetapi dalam kenyataan kami dapati bahwa di antara para wanita yang berorganisasi justru terdapat lebih banyak wanita dengan umur lebih tua. Dari daftar nama-nama yang kami buat, dan proporsi pembagian umur, kami memilih responden kami secara acakan dan sejumlah cadangan. Prosedur selanjutnya adalah memberitahukan kepada pimpinan mengenai.nama-nama yang kami pilih untuk diwawancara, agar untuk selanjutnya pimpinan dapat memberitahukan hal itu kepada para calon responden.

3. Para Pelaksana Wawancara

Untuk mengumpulkan data, kami mempergunakan tenaga wawancara wanita. Hal yang kami utamakan adalah wanita yang sudah menikah dan yang mempunyai anak. Meskipun demikian kami juga mempunyai banyak pengalaman berhubungan dengan family counseling. Alasan utama dalam memilih tenaga wawancara adalah karma di antara pertanyaan-pertanyaan yang akan kami ajukan, ada beberapa masalah yang masih dianggap sensitif bagi, telinga kebanyakan wanita Indonesia, bahkan juga bagi mereka yang sudah tinggal dl kota. Pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan fertilitas, slat-slat kontraseptif, hubungan antara suami-istri misalnya, hanya dapat ditanyakan oleh petugas wawancara yang dianggap sudal~ patut bertanya, dan mereka itu adalah orang-orang yang sudah kawin Adalah janggal dan dianggap "kurang ajar" kalau sekiranya hal-had yang bersifat pribadi itu ditanyakan oleh seorang gadis yang masih dianggap "mentah".

Selain itu juga kami butuhkan tenaga wawancara yang bukan saj sudah "matang" dalam membicarakan berbagai masalah yang sensiti ini, tetapi juga sebagai ibu rumah tangga yang aktif dengan kegiatan-kegiatan di luar rumah tangganya, sehingga dari mereka kami mengharapkan dapat lebiih memperluas wawancara dengan beberapa pertanyaan lain yang mungkin dapat dikembangkan dari pedoman wawancara dan sebagai ibu rumah tangga, juga dapatmenghayati masalah-masalah yang dihadapi oleh para ibu rumalr tangga pada umumnya.

Kebetulan sekah sejalan dengan penelitian kami, ada juga suatu penelitian lain mengenai anak yang banyak berhubung dengan kegiatan-kegiatan pekerja sosial ataupun ibu-ibu rumah tangga yang menambah pengetahuannya dengan kursus-kursus mental health. Dart kelompok inilah kami mendapat tenaga wawancara yang mempunyai pekerjaan sebagai pekerja sosial ataupun ibu-ibu yang menambah pengetahuannya dengan kursus-kursus mental health. Selain itu kami juga mendapat beberapa tenaga dosen universitas dan lembaga penelitian. Memang kemudian kami juga mengerahkan mahasiswi tingkat akhir dari jurusan antropologi yang belum menikah, ketika dirasakan akan lebih banyak membantu untuk mewawancara responden suku bangsa Cina, dengan dugaan bahwa responden itu akan lebih terbuka kalau mereka diwawancara oleh orang-orang sesuku bangsa. Mahasiswi yang kami kerahkan sebagai petugas wawancara semuanya bersuku bangsa Cina. Dalam pembagian tugas mewawancara kami sejauh mungkin mengikuti latar belakang dari para responden kami. Hal ini untuk menghindarkan sikap tertutup dari responden kalau sekiranya responden tidak merasa aman untuk mengeluarkan isi hatinya terhadap orang-orang "di luar" kelompoknya. Sebab itulah kami menempatkan para petugas wawancara sesuai dengan kepentingan itu; misalnya untuk sampel Cina kami menempatkan tenaga wawancara Cina; sampel Minahasa kami berikan tenaga wawancara Menado; untuk sampel organisasi wanita Islam kami mempergunakan tenaga wawancara beragama Islam.

Demikianlah kami mendapatkan sejumlah petugas yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yaitu: suku bangsa jawa, Menado, Minangkabau, Sunda, Cina, dan yang beragama Islam, atau Kristen. Umur mereka adalah rata-rata di atas 25 tahun dengan pendidikan paling sedikit SMA.

3.1. Latihan dan Pengawasan Para Petugas Wawancara

Untuk tujuan mengenal masalah serta berbagai tekmk mengumpulkan data dengan tekmik wawancara mendalam serta segala sesuatu yang berhubungan dengan studi kami, maka dilakukan suatu rangkaian diskusi dan latihan yang mendalam dan intensif. Bukan saja kebanyakan dari para petugas wawancara kami belum banyak pengalaman dengarr penelitian-penelitian tetapi juga kami menganggap sangat perlu untuk melibatkan mereka dengan masalahnya sehingga mereka akan lebih menghayati, dan tentu saja pertimbangan lain adalah bahwa setiap penelitian adalah unik, sehingga latihan merupakan bagian terpenting dari suatu penelitian. Kami sadar sekali bahwa kualitas data kami akan sangat tergantung kepada cars-cara dan kualitas dari wawancara. Sebab itulah latihan kami lakukan seminggu

sekali untuk tiga jam lamanya, dan ini berlangsung sampai tiga bulan. Kepada para petugas wawancara disediakan waktu untuk role play, mereka acting secara bergiliran, sebagai responden dan sebagai petugas wawancara. Di waktu role play dan latihan itulah kami melihat segala sesuatu yang dapat meminimalkan berbagai kekurangan dan kelemahan teknik wawancara mendalam, bagaimana misalnya

mengemudikan wawancara kalau sudah keluar dari masalahnya. Dalam role play dan latihan itu pula, kami belajar berbagai pengalaman dan persoalan yang timbul, misalnya bagaimana menangani pertanyaan yang sudah buntu, bagaimana kalau responden berbelit-belit. Dari pengalaman kemudian kami sadar betul bahwa pendekatan yang paling balk adalah keramah-tamahan yang inembuat responden

memberi rapport. Kemudian juga pengalaman mengajarkan kepada kita apa arti latihan yang mendalam itu, sehingga pada waktu para petugas terjun ke lapangan, kami yakin betul satu kata dan pendapat balk antara sesama petugas wawancara maupun antara para petugas wawancara dan team. Kami juga memberitahukan kepada para petugas wawancara apa yang sebenarnya tersembunyi dalam setiap pertanyaan, dan apa yang sebenarnya kami inginkan untuk setiap pertanyaan. Ini kami anggap penting sekali untuk diuraikan kepada para petugas, karma banyak pertanyaan yang kami bust formulasinya sedemikian terselubungnya, bukan saja untuk menghindari pertanyaan yang sifatnya sugestif, tetapi juga karma ada beberapa pertanyaan yang bersifat sensitif. Lagi pula pegangan yang akan dibawa oleh para petugas wawancara hanya suatu pedoman wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan yang diharapkan dapat diformulasikan d dielaborasikan oleh para petugas wawancara sendiri, sesuai deng keadaan, tanpa mengurangi dan menyalahi maksud dan tujuan semul

Satu hal lain yang kemudian kami temukan pada waktu latih adalah kenyataan bahwa banyak dari para petugas masih "buts dengan hal-hal yang berhubungan dengan Keluarga Berencana d reproductive behaviour pada umumnya, padahal banyak pertanya kami yang berhubungan dengan masalah itu. Karena itu tentu am al janggal, kalau sekiranya ada responden ya_ig bertanya lebih mendeta mengenai masalah Keluarga Berencana dan fertilitas (dan di dala kenyataan memang demikian adanya), padahal si petugas wawanca masih "buta" mengenai hal ini. Tampaknya memang latihan it bukan saja bermanfaat bagi pencarian data saja, akan tetapi juga unt keperluan para petugas sendiri dalam hal mendalami pengetahu mereka yang berhubungan dengan Keluarga Berencana dan fertili pada.umumnya, yang selama ini rupa-rupanya juga masih merupak pertanyaan bagi para petugas itu sendiri. Untuk itulah diberik ` keterangan oleh salah seorang pimpinan proyek dalam bentuk disku yang sangat terbuka. Lain cara adalah dengan memutarkan film-fil yang dipinjam dari sebuah kedutaan mengenai reproductive behaviou yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi.

Barangkali patut juga dikemukakan di sini bahwa pertanyaa pertanyaan maupun diskusi yang sangat terbuka itu dimulai d dipimpin oleh salah seorang pimpinan proyek yang kebetulan oran asing, sehingga ada kemungkinan bahwa justru karena is seorang asi hal-hal yang "biasanya" dianggap tabu untuk dibicarakan di si menjadi masalah yang terbuka sifatnya. Hal ini menarik unt dikemukakan, karena pengalaman itu membuat kita berpikir beta dunia wanita yang penuh rahasia itu, bahkan juga di antara kau wanita much dan terpelajar dan yang tinggal di kota, rupa-rupan masalah seks masih merupakan suatu tanda tanya yang besar.

Selama satu minggu kami mempergunakan waktu untuk try-out, mana masing-masing petugas mengambil dua ka'sus untuk dico dengan pedoman wawancara yang sudah ada. Hasil dari try-out in adalah bahwa kami masih harus memperbaiki pedoman wawancar beberapa kali, sampai pada bentuknya yang final. Barulah kami sia untuk terjun ke lapangan.

Sementara itu berbagai keperluan teknis, antara lain surat izi penelitian dari pemerintah DKI Jaya, diufus oleh salah seoran anggauta tim. Rupa-rupanya faktor "kenalan dengan orang dalam banyak memperlancar, sehingga segala sesuatunya dapat berjalan dengan baik dan cepat. Masing-masing peneliti dibekali dengan surat izin penelitian dan kami pesankan kepada para petugas wawancara agar selalu membawa surat itu pada waktu menjalankan tugasnya, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Memang dalam kenyataannya sangat jarang para responden menanyakan surat izin itu, karena rupa-rupanya sudah diberitahukan sebelumnya oleh pimpinan organisasi atau lembaga di mana mereka tergabung. Meskipun demikian ternyata bahwa juga pengalaman seorang petugas wawancara yang justru diwawancara oleh seorang responden dan juga ditanyakan identitasnya; saat itu surat izin memang banyak menolong. Kepada para petugas wawancara sudah pula diberikan pengenalan diri kepada para calon responden, yang seragam. Hal yang banyak menyulitkan adalah bahwa para petugas wawancara kami berasal dari berbagai kalangan masyarakat, akan tetapi untuk penelitian ini, mereka memakai nama satu lembaga. Sehingga kalau kebetulan ada responden yang kenal dengan salah seorang yang bekerja di lembaga dan menanyakan kepada petugas wawancara mengenai hal itu, maka yang bersangkutan agak repot juga untuk menerangkannya.

3.2. Jalannya Wawancara

Pada umumnya para petugas wawancara tidak mengalami banyak kesulitan yang berarti dalam melakukan wawancara. Hal ini barangkali disebabkan antara lain karena sebelum petugas wawancara datang, responden sudah diberitahu akan kedatangannya oleh masing-masing organisasi di mana mereka tergabung. Juga mengenai masalah yang akan ditanyakan sudah diberitahu terlebih dahulu. Banyak juga dari para petugas wawancaraI yang tidak langsung mewawancara pada kedatangan mereka yang pertama, akan tetapi berkenalan dahulu dan membuat janji, dan wawancara yang sebenarnya baru diadakan pada kunjungan berikutnya. Biasanya para calon responden menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan rnateri dari yang akan ditanyakan; hal antara lain yang biasa ditanyakan adalah apakah ada pertanyaan yang berbau politik, karena mereka pada Umumnya sangat enggan untuk berwawancara mengenai politik.

Hal yang juga menarik untuk dikemukakan adalah bahwa rupa-rupanya di antara para calon responden, setelah diberitahukan bahwa dia akan diwawancarai, is berhubungan dengan responden yang telah mendapat giliran. Meskipun demikian hal-hal yang negatif tidak kami temui. Mereka umumnya bersifat kooperatif. Kami yakin bahwa sebagian besar lancarnya wawancara kami disebabkan oleh keluwesan para petugas wawancara dan pendekatan yang lebih bersifat omong-omong dan bertamu dari pada sikap "pemburu data yank profesional" dengan kuestioner di tangan dan sikap yang tergesa-ges; karena mengejar waktu dan target. Ada responden kami yank mengeluh mengenai sikap Para "pemburu data yang profesional" its dan hal itu dirasakan sangat mengganggu. Sebaliknya, tang; bermaksud memuji diri, mereka justru bersikap simpatik pada kam yang melakukan wawancara dengan cara santai ini, padahal kala~ dilihat dari sudut waktu, cara santai ini lebih banyak menyita wakt mereka. Hal itu tidak berarti hahwa kami selalu mendapatkan jala yang licin saja selama ini, oleh karena kami juga menjumpai wajal' yang was-was ataupun curiga dan perasaan tak senang. Namu biasanya pada kunjungan selanjutnya suasana sudah berubah dar beralih pada omong-omong seperti antara teman. Kami juga tida memaksa responden untuk waktu wawancara, karena, soal bil sebaiknya wawancara diadakan sepenuhnya kami serahkan pada pertimbangan responden. Pada umumnya mereka memilih waktu pagi hari.

Dari beberapa pengalaman kami juga harus menghadapi Para suam yang rupa-rupanya ingin tabu apa sebenarnya yang ingin ditanyakan Sebegitu jauh sikap mereka pun balk saja, bahkan sering kali mala terlibat dengan diskusi yang mengasyikkan, sehingga denga demikian menambah bahan-bahan yang kami kumpulkan. Hall i kecuali satu orang responden, yang pada kunjungan kedua terpaks tidak bersedia untuk melanjutkan wawancara, dengan alasan bah w' suami tidak mengizinkan.

Mengenai soal lamanya wawancara berjalan hal itu berbeda-bed tetapi rata-rata wawancara berjalan tidak kurang dari tiga Jam. Ole sebab itu kebanyakan wawancara diadakan dalam dua sampai tiga ka kunjungan, sedangkan tempat wawancara biasanya diadakan di rum responden. Memang ada beberapa perkecualian di mana wawancar diadakan di kantor, seperti pada beberapa responden guru, denga memberi alasan bahwa rumahnya sukar dicari dan juga dengan la' alasan yang praktis.

Dari pengalaman Para petugas wawancara kami berkesimpula bahwa pada umumnya para responden bersifat kooperatif. Da seluruh wawancara hanya ada dua kasus di mana wawancara tida dilanjutkan, yaitu oleh seseorang responden dari suatu organisa wanita, yang sudah sempat diwawancarai akin tetapi kemudian tida mempunyai waktu dengan alasan bahwa salah seorang keluarga ad yang sakit di rumah sakit; seorang responden lain adalah warga suku bangsa tertentu yang kemudian menolak untuk diwawancarai lebih lanjut, dengan alasan bahwa suami tidak mengizinkannya.

Semua petugas wawancara mempraktekkan metode pendekatan mengobrol dan tidak selalu mengikuti tata urut pertanyaanpertanyaan yang kaku. Memang pada wawancara yang pertama dan kedua pekerjaan masih terasa kaku, akan tetapi kemudian untuk wawancara selanjutnya masing-masing petugas sudah mengetahui tata urut pertanyaan yang sebaiknya. Para petugas juga melaporkan bahwa suasana intim dapat dipupuk, malah menurut pengalaman beberapa petugas keadaan menyulitkan justru karena telah berkembang hubungan yang terlampau intim dan rapat dengan responden. Banyak hal yang bersifat pribadi juga diceritakan pada para petugas, yang rupa-rupanya sangat dibutuhkan oleh para responden untuk penyaluran. Mereka juga rupa-rupanya membutuhkan orang atau teman dengan siapa mereka dapat berbincang mengenai masalahmasalah tertentu. Barangkali hampir tidak dapat dipercaya bahwa kami memperoleh banyak data yang di luar dugaan kami, yang dulunya kami anggap tidak atau sukar untuk diperoleh; bahkan ada juga responden yang sangat berterima kasih akan kedatangan kami karena is mendapat keterangan-keterangan yang selama ini sedang dicari jawabannya. Persoalannya sekarang dengan rapport-nya para petugas wawancara dengan Para responden, yang notabene baru berkenalan beberapa waktu itu, adalah tanggung jawab moral tentang data yang diketahuinya untuk ditulis dalam bentuk laporan. Oleh karena tidak jarang Para responden berpesan agar supaya ini menjadi rahasia antara dia dan peneliti. Hal yang juga membuat mereka terbuka seperti itu adalah karena mereka tahu bahwa, kami tidak membubuhi nama mereka dan kami juga yakinkan kepada mereka bahwa keteranganinya hanya merupakan salah satu keterangan yang akan dikumpulkan di antara yang lain menjadi satu tanpa menyebut identitasnya lagi. Sehingga dengan demikian kami terkejar janji itu dalam laporan kami.

Mengenai pencatatan selama wawancara kami hanya membuat beberapa catatan kecil dalam buku catatan, yang biasanya karni pakai hanya untuk membuat catatan penting saja, yang mudah dilupakan. Sedangkan data dari wawancara itu sendiri, yang terbanyak direkam dalam ingatan, untuk segera menuliskannya dalam bentuk laporan setelah Para petugas sampai di rumah. Kami juga melakukan wawancara dengan menggunakan tape recorder, yang memang terasa sangat menolong, hanya sayang sekali tentu saja tidak semua responden mau mengadakan wawancara dengan tape recorder. Kalau mau menggunakan tape recorder kami memang harus menanyakan. dulu, apakah responden bersedia kalau wawancaranya direkam.

Supervisi diadakan satu minggu sekali, di mana para petugas' berkumpul membicarakan masalah yang dihadapi, ataupun keputusan yang harus diambil, dan dalam pertemuan-pertemuan itu juga diumumkan hal-hal baru yang harus dijalankan bersama. Sementara wawancara masih berlangsung, hasil wawancara yang sudah selesai dalam bentuk laporan, yang rata-rata panjangnya 15 halaman tik spasm rangkap diserahkan kepada masing-masing supervisor. Supervisor membacanya dan memberi catatan demi konsistensinya, yang kemudian akan ditanyakan lagi kepada para petugas wawancara pada pertemuan yang akan datang. Demikianlah laporan itu masuk sesudah mendapat persetujuan dari supervisor.

3.3. Sesudah Data Terkumpul

Dengan rasa puas bercampur gembira dan bangga kami akhirnya melihat tumpukan hasil wawancara yang seluruhnya makan waktu lebih-kurang dua bulan itu. Rasa gembira itu segera beralih pada rasa cemas, mengingat pekerjaan selanjutnya, dalam memproses data itu. Sudah kami putuskan bahwa kami akan memakai komputer untuk. pengolahannya. Ini berarti bahwa kami menghadapi suatu rangkaian proses yang panjang dan yang juga masih asing dalam banyak hal. Alasan untuk penggunaan komputer adalah bahwa cara itu akan jauh lebih menguntungkan dan berharga daripada pengolahan dengan tangan, terutama dalam hal melaksanakan tabulasi silang yang banyak sekali jumlahnya. Itulah sebabnya meskipun total populasi kita hanya kecil saja, kami memutuskan untuk mengolahnya dengan komputer yang kami rasa akan lebih banyak manfaat dan keuntungannya.

Usaha pertama yang kami jalankan adalah membaca kembali seluruh hasil wawancara, untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas lagi, terutama dalam rangka membuat buku kode. Sementara itu kami sudah mulai dengan membuat beberapa perhitungan sederhana dengan tangan, sekedar untuk melihat distribusinya.

Dapat dikatakan bahwa periode ini sangat memeras pikiran dan tenaga, lebih-lebih karena sifat dari data kami yang belum pre-coded, bahkan boleh dikata masih tercecer dalam bentuk kalimat-kalimat. Langkah selanjutnya adalah mendaftar dan mengedit semua jawaban dan mengelompokkan menjadi satu jawaban jawaban yang bisa dimasukkan dalam satu kategori. Itulah sebabnya kami menggunakan tenaga para petugas wawancara sebagai pelaksana koding juga, oleh karena dengan mereka kami tidak perlu lagi memberikan banyak keterangan yang lebih mendetail. Pekerjaan mendaftar dan mengedit data yang tercecer dalam bentuk kalimat itu, ternyata memakan waktu juga. Untung sekali bahwa ada dua orang anggota dalam tim kami sudah terbiasa memproses data dengan komputer sehingga pekerjaan selanjutnya, yaitu koding, dapat berjalan dengan lancar. Salah satu jenis jawaban yang sangat sukar untuk dikoding adalah jawaban mengenai pengeluaran rumah tangga. Bukan saja datanya tidak lengkap, oleh sebab tidak semua responden memberikan keterangan secara terperinci, akan tetapi juga karena ada responden yang menjawab pengeluaran-pengeluarannya dalam bentuk natura, sehingga dengan demikian pekerjaan baru adalah mengkalikannya dengan harga pasaran resmi.

Kesulitan lain adalah tidak cocoknya antara pengeluaran dan pendapatan, karena memang ada kecondongan antara para responden untuk menyebut pendapatan yang resmi saja sebagai sumber penghasilan. Dalam keadaan semacam ini kami sudah instruksikan kepada para petugas wawancara untuk tidak memaksa responden menyebut seluruh jumlah pendapatannya, akan tetapi lebih cenderung bertanya mengenai pengeluarannya. Sedangkan sebagai cek kami ajukan kepadanya beberapa pertanyaan terselubung, baik mengenai pekerjaan tambahan suami maupun mengenai pekerjaan yang menghasilkan uang dari si istri. Memang tampaknya jelas ada kaitannya antara pengeluaran yang tidak sebanding , dengan pendapatan, dengan ikut sertanya dalam kegiatan ekonomi secara aktif dari para istri. Hal yang biasanya tersembunyi, karena para istri hampir tak mengatakan mempunyai pekerjaan, kecuali sebagai ibu rumah tangga. Namun dari penelitian ini, kami berhasil mengetahui kegiatan si istri secara lebih mendetail; boleh dikatakan sejak dia bangun pagi sampai masuk tidur lagi. Hanya saja kami harus dapat menelusurinya dari pertanyaan-pertanyaan. Itulah alasan yang utama mengapa kami mengambil pelaksana koding terutama dari para petugas wawancara, adalah karena mereka sudah dapat dengan mudah mencarinya dan sudah terbiasa dengan data kami.

Sesuai dengan tujuan dari studi ini, yaitu menjadikan juga semacam latihan untuk anggota tim, maka dirasa besar sekah manfaatnya melibatkan diri dalam diskusi-diskusi dari permulaan sampai pada tahap memproses data dan kemudian tahap menganalisanya.

Menuhs laporan adalah sesuatu hal yang lain lagi. Tampaknya disiplin pada diri sendiri me mang dibutuhkan sekali. Berbulan-bulan setelah print-out dan tabel-tabelnya ada di tangan, belum lagi ada satu lernbaran yang selesai untuk penulisan laporan. Sementara itu, waktu sudah semakin mengejar dan mengingat-ingat tanggal batas waktu membuat nightmare sepanjang malam. Karena kami semuanya tidak bekerja penuh waktu dalam proyek ini, maka lain pekerjaan juga menuntut waktu. Dalam keadaan seperti itu kami merasakan seperti tidak ingin lagi melakukan penelitian; rasa jera dan putus asa bercampur menjadi satu, sampai tiba waktunya untuk berbulat tekad, menahan diri dengan mengurung diri dan mendisiplin diri. Satu atau dua jam sehari menulis, atau paling akhir "melarikan diri" ke gunung, membuat diri menjadi orang yang egois bahkan terhadap keluarga. Rasanya tak ada perasaan yang lebih lega daripada melihat suatu laporan selesai.

3.4. Kerja Sama dalam Tim

Tak dapat disangkal lagi bahwa bekerja dengan tim memang memerlukan toleransi yang besar. Lebih-lebih lagi karena anggota tim kami tidak berasal dari satu lembaga, maka komunikasi tak dapat dilakukan setiap hari. Salah seorang tim kami yang menjadi tempat kami bertanya harus kembali ke Amerika. Kami menetapkan untuk selalu berkumpul satu minggu satu kali sekedar untuk berdiskusi atau untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya, sementara data masih dalam proses. Dalam perternuan itu juga kami bicarakan penggunaan data sesudah laporan utama selesai, mengingat kami datang dari berbagai lembaga. Hal ini sekedar untuk menjaga kemungkinan yang tidak baik di kemudian hari.

Barangkali tidak terlampau berlebihan jika dikatakan di sini bahwa kerja sama tim sangat baik, mungkin juga karena kerja sama ini sebenarnya bukanlah yang pertama. Sudah beberapa kali kami bekerja sama dengan orang-orang yang sama dalam satu tim sehingga boleh dikata kami sudah saling mengenal watak dan tabiat masing-masing.

Kerja sama yang baik dan toleransi antara anggota tim sangat menolong pekerjaan berat yang kadang-kadang membuat had kami putus asa. Rasa memiliki dan kepuasan yang diperoleh di antara sesama anggota tim juga merupakan sesuatu yang penting yang harus diperhitungkan dalam kerja sama dengan tim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar