Selasa, 13 Januari 2009

Meneliti Pembangunan Masyarakat Desa Gayo di Aceh Tengah

1. Masalah Penelitian

Mulai akhir triwulan pertama tahun 1974, saya diberi kesempatan oleh Universitas Indonesia untuk melakukan penelitian di daerah pedesaan Gayo, Aceh Tengah, selama masa satu tahun. Adapun yang menjadi masalah pokok dari penelitian ialah, meneliti sejauh mana faktor-faktor sosial-budaya mempengaruhi kemakmuran masyarakat desa di daerah ini. Di samping itu saya harus berusaha menghimpun sebanyak mungkin data-data etnografis, yang memang sejak deskripsi etnografis dari C. Snouck Hurgronje Het Gayoland en zijn Bewoners (1903) yang sangat kurang lengkap itu, sepanjang pengetahuan saya belum pernah dilukiskan secara menyeluruh. Masalah pokok dari penelitian sudah barang tentu terlebih dahulu memerlukan perumusan dari konsep "kemakmuran", yang sebenarnya bersifat sangat relatif Konsep kemakmuran untuk keperluan penelitian ini, saya dasarkan atas pendirian bahwa orang bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer dalam kehidupannya sehari-hari dan di samping itu, masih bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam hal meningkatkan mutu hidupnya. Kebutuhan primer dalam kehidupan sehari-hari dari orang pedesaan Gayo saya ukur dengan metode penelitian anggaran rumah tangga dari dug sampel rumah tangga petani, dari dug bush desa yang diperkirakan berbeda kemakmurannya.

Anggaran rumah tangga mengandung unsur-unsur berupa anggaran penerimaan dan pengeluaran, yang tentunya dapat dipecah lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil. Adapun mengenai anggaran penerimaan rumah tangga di desa-desa yang diteliti itu pada khususnya atau di daerah Gayo pada umumnya;-diperkirakan adanya unsur-unsur berupa hasil pertanian ialah hasil sawah, hasil (ladang) empus seperti kopi, tembakau, buah-buahan, palawija, kayu api dan lain-lain. Penerimaan dari pekerjaan sebagai buruh ialah upah, uang lembur dan lain-lain, atau sebagai pegawai, ialah misalnya gaji, uang lembur, rumah instansi, kendaraan dims, memburuh (lung-upah), guru pengajian, mendukun (guru kampung). Penerimaan rumah tangga yang lain berasal dari misalnya pemeliharaan ternak, menangkap ikan, usaha dagang, hadiah atau pemberian, hasil kerajinan, memberi pertunjukan kesenian, menang lotre dan lain-lain.

Adapun anggaran pengeluaran rumah tangga, diperkirakan adanya unsur-unsur pengeluaran biaya harian misalnya untuk membeli bergs, sayur-mayur, bumbu-bumbuan, bubuk kopi, gula, ikan, daun nipah, tembakau, rokok putih, minyak lampu, minyak kelapa, kayu api, jajan, alat makan sirih, sabun cuci dan lain-lain. Pengeluaran rumah tangga yang lain berupa pengeluaran bulanan seperti misalnya uang sekolah anak, sewa rumah, peralatan sekolah anak, biaya anak yang sekolah di luar daerah Gayo, membeli sabun mandi, potong rambut, membeli minyak rambut, membayar pajak radio, menabung, menyambung jolo-jolo (arisan), membayar kredit, odol dan lain-lain. Pengeluaran rumah tangga insidencal adalah misalnya membeli pakaian, alat rumah tangga, membiayai perbaikan rumah, rekreasi, upacara atau pesta (sinte), memberi hadiah atau bingkisan, membayar zakat fitrah, memberi aural, membeli alat penangkap ikan, alat anyam-anyaman, radio, tape recorder, pita (cassette), batu baterai, sepeda, sepeda motor, biaya servis, pajak kendaraan bermotor, pengobatan, asuransi dan lain-lain. Ada lagi anggaran pengeluaran dalam rangka biaya produksi pertanian, seperti membeli benih padi, benih .tanaman lainnya, pupuk, mengeluarkan upah untuk buruh sawah dan ladang, sewa sawah (garal), sewa hewan, sewa alat-slat pertanian, mengeluarkan biaya bejamu, merribeli alat-alat pertanian seperti pacul, parang, bajak, igu, tersik, karung, tikar, ancak, pisau tembakau, atap, mesin giling kopi dan lain-lain. Dari total anggaran rumah tangga dari masing-masing kedua desa yang diteliti, dihitung rata-rata pengeluaran kebutuhan pexincian sehari-hari rumah tangga, serta rata-rata pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan akan mutu hidup perorangan, dan kalau is seimbang dengan rata-rata penerimaan rumah tangga, maka dapat diperkirakan bahwa penduduk masyarakat yang bersangkutan adalah "makmur". Perbedaan antara desa pertama dan kedua yang berupa perbedaan antara dug angka rata-rata itu, tentunya harus dikuatkan dengan kenyataan pemilikan benda-benda material yang diketahui

dengan wawancara dan observasi dari kedua desa. Kemudian akan timbul pertanyaan, apakah yang menyebabkan terjadinya perbedaan itu. Kemakmuran itu memang dimungkinkan oleh faktor-faktor yang bersifat ekonomis, seperti luas dan suburnya tanah, sumber-sumber alam yang kaya, tenaga kerja yang massal dan murah, kecakapan teknologis dan ekonomis, serta modal yang cukup. Namun dalam perbandingan ini kemungkinan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor tersebut, tidak meyakinkan sebagai penyebab perbedaan kemakmuran, karena desa-desa yang diteliti mempunyai ciri ekonomis yang kurang lebih sama. Para ahli ilmu sosial kemasyarakatan, termasuk ahli ekonomi, rupanya telah menyadari bahwa untuk mencapai kemakmuran itu syarat-syarat ekonomi yang primer itu rupa-rupanya masih amat tergantung kepada faktor-faktor sosial-budaya, seperti faktor demografis, susunan kemasyarakatan organisasi sosial, adat-istiadat dan orientasi nilai budaya atau sikap mental (Koentjaraningrat, 1969: 7). Dalam penelitian ini faktor-faktor yang non-ekonomis atau faktor sosial-budaya itu menjadi titik berat perhatian saya.

Penelitian semacam ini pernah saya lakukan di daerah pedesaan di Jawa Tengah dalam tahun 1970 dengan memperbandingkan perbedaan kemakmuran di dua buah dukuh dari satu desa dengan memperhatikan faktor sosial-budaya sebagai penyebab dan perbedaan tadi. Dalam penelitian itu telah saya ambil suatu kesimpulan bahwa faktor kepemimpinan dukuh, baik yang resmi (forrnal leaders) dan yang tak resmi (informal leaders) rupanya sangat menentukan situasi kemakmuran dari kedua dukuh yang diteliti (Melalatoa, 1972: 192-217). Apakah faktor semacam ini juga ikut mempengaruhi pembangunan ekonomi atau kemakmuran di daerah pedesaan Gayo? Bagaimana peranan tokoh-tokoh -kepemimpinan dalam usaha ekonomi (entrepreneur) dalam pembangunan masing-masing desa? Selain daripada itu faktor-faktor perbedaan orientasi terhadap ~, norma-norma adat, orientasi terhadap jenis mata pencaharian hidup yang baru, atau perbedaan pola menetap akibat orientasi terhadap jenis mata pencaharian hidup itu, juga akan mempengaruhi keadaan yang berbeda itu.

Saya menyadari bahwa dalam satu masyarakat itu, satu gejala tidak V erlepas dari gejala lainnya. Demikian pula masalah sosial-budaya ;ebagai masalah non-ekonomis, tenru tidak akan terlepas dan akan nempengaruhi masalah-masalah ekonomi itu sendiri. Oleh karena itu ialam penelitian saya telah saya perhatikan bagaimana hubungan >erfungsi antara sistem ekonomi sebagai salah satu unsur kebudayaan lengan unsur-unsur kebudayaan lainnya yakni dengan sistem sosial, istem pengetahuan, sistem peralatan, religi dan mungkin juga kesenian. Dalam rangka korelasi antara sesama unsur kebudayaan ini, maka unsur-unsur kebudayaan dari kedua masyarakat desa yang diteliti khususnya atau masyarakat Gayo umumnya, sudah seharusnya diteliti secara mendalam.

Patut kiranya dicatat bahwa pelukisan tentang kebudayaan Gayo yang disajikan oleh C. Snouck Hurgronje dalam buku tersebut di atas, yang telah terbit lebih dari 70 tahun yang lalu itu, dalam banyak hal sudah tidak cocok lagi dengan keadaan sekarang. Ada pula satu penelitian yang dilakukan oleh Jurusan Antropologi, Universitas Indonesia, dalam tahun 1972 yang lalu dengan memfokus kepada masalah perubahan sosial. Penelitian tersebut mungkin tidak memberikan gambaran yang mendalam tentang unsur-unsur kebudayaan Gayo, karma penelitiannya yang berlangsung dalam waktu yang singkat. (Vredenbregt, 1973 dan 1974). Lebih lanjut kalau kita dapat meneliti buku-buku tentang

masyarakat dan kebudayaan Gayo termasuk Alas, yang disajikan oleh Raymond Kennedy dalam Bibliography of Indonesian Peoples and Cultures (1962) seluruhnya berjumlah 34 buah. Dari jumlah ini hanya sebagian kecil yang khusus membicarakan kebudayaan dan suku bangsa, karma di antaranya ada yang berupa kamus dan laporan perjalanan. Buku-buku ini hampir seluruhnya berasal dari permulaan abad ini, bahkan banyak yang berasal dari akhir abad yang lalu. Karangan-karangan atau buku-buku dari mass terakhir tentang kebudayaan Gayo, artinya di luar judul judul yang telah dikumpulkan oleh Raymond Kennedy, sepanjang pengetahun saya malahan

jumlahnya lebih sedikit. Di antaranya hanya beberapa buah yang dapat dikatakan karangan yang bersifat ilmiah.2 Ada pula beberapa karangan ilmiah, yang tidak khusus membicarakan kebudayaan Gayo, tetapi hanya membuatnya sebagai contoh atau dalam rangka suatu perbandingan.

Karma masih terbatasnya sumber-sumber tertulis dari suatu hash penelitian yang mendalam, sehubungan pula adanya'hipotesa khusus yang akan berkaitan dengan berbagai perwujudan kebudayaannya, maka diperlukan keterangan-keterangan yang lebih luas. Keterangan- keterangan yang dimaksud selain mengenai unsur-unsur kebudayaan-nya, juga mengenai sejarah desa-desa penelitian serta sejarah Gayo umumnya, seperti sejarah masyarakatnya, sejarah ekonomi, demografi, komunikasi dengan dunia luar dan lain-lain.

2. Metode Penelitian yang dipakai

Metode yang digunakan adalah metode-metode yang telah sering digunakan dalam penelitian antropologi khsususnya atau ilmu-ilmu sosial lain umumnya. Dalam penelitian ini telah digunakan dua macam schedule dan sebuah kuestioner. Schedule pertama adalah untuk mengetahui anggaran rumah tangga dari kedua desa yang dipilih sebagai lokasi penelitian. Schedule yang lain adalah untuk mengetahui dasar-dasar yang menyangkut faktor sosial-budaya dan yang ketiga kuestioner mengenai nilai budaya. Oleh karena jawaban jawaban yang diperoleh dengan schedule dan kuestioner lebih bersifat kuantitatif, maka masih perlu dilakukan pendalaman melalui wawancara terutama untuk sejumlah pertanyaan tertentu.

Untuk mendapatkan keterangan yang bersifat etnografis seperti telah disinggung di atas, telah dilakukan beberapa bentuk wawancara seperti wawancara berfokus dan wawancara bebas. Selain. itu guns mendapatkan keterangan yang lebih luas lagi kadang-kadang dilakukan wawancara sambil lalu (casual inteview). Kepada sejumlah orang tertentu yang dianggap sebagai tokoh pimpinan dalam masyarakat kedua desa telah dilakukan pengumpulan keterangan mengenai pengalaman hidupnya (individual's life history). Selama melakukan penelitian dengan waktu yang tersedia cukup lama, telah dilakukan juga metode pengaWatan berpartisipasi. Dengan metode ini saya hendak memperdalam pengetahuan saya mengenai nilai-nilai dan norms-norms yang sedang tumbuh dalam masyarakat yang bersangkutan. Hasil yang saya peroleh dengan berbagai metode penelitian tersebut di atas, masih harus dilengkapi dengan mengumpulkan data primer. Data primer ini diperoleh dengan jalan mencari dan mencatat dari arsip instansi tertentu di daerah ini. Namun karena data yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan, maka telah dilakukan pengumpulan sendiri data-data tersebut.

3. Beberapa Masalah Operasional

Izin penelitian. Penelitian di daerah pedesaan Gayo ini dilakukan atas dasar penugasan yang diberikan jurusan Antropologi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, untuk kepentingan mana saya harus mendapat izin resmi dari Dekan Fakultas Sastra UI di mana selama ini saya mengabdi sebagai salah seorang tenaga pengajar. Izin dari Fakultas Sastra ini menjadi dasar untuk menerima izin dari instansi lain, seperti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Departemen Dalam Negeri (Direktorat Pemerintahan Umum), yang masing-masing ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh dan instansi lainnya di daerah tersebut. Izin yang didapat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Jakarta itu, sebenarnya diperuntukkan bagi peneliti-peneliti asing yang melakukan penelitian di Indonesia. Namun memang tidak ads salahnya untuk dimintakan, karena dalam kenyataannya di lapangan surat seperti ini mempunyai manfaat yang besar.

Untuk mengurus izin penelitian ini di Jakarta pada dasarnya tidak ditemukan kesulitan spa pun. Namun pihak pembimbing kami berpendapat bahwa dalam rangka penelitian yang berjangka relatif lama seperti ini sebaiknya mengikutsertakan keluarga. Saya masih ingat akan ucapannya: "Saudara mungkin tidak bisa bekerja lebih baik tanpa membawa keluarga; di samping itu, istri Saudara dapat membantu pekerjaan di lapangan". Ucapan ini dapat saya yakim berdasarkan pengalaman sebelumnya yang hanya melakukan penelitian beberapa bulan saja. Oleh karena istri saya juga bekerja sebagai pegawai negeri, maka,sudah seharusnya diperlukan izin untuk membebaskan dari tugasnya selama setahun itu. Namun berdasarkan peraturan yang berlaku izin itu tidak dapat-diterima, meskipun untuk cuti di luar tanggungan negara. Akhirnya istri tidak jadi berangkat, meskipun kemudian is menyusul juga sekedar untuk menghabiskan waktu liburnya. Dalam kenyataannya ketidakhadiran anggota keluarga untuk bersama-sama bekerja di lapangan, memang cukup berpengaruh terhadap jalannya penelitian.

Dengan surat izin yang ads saya berangkat ke Aceh pada tanggal 20 April 1974, yang 20 hari lebih lambat dari tanggal yang semestinya. Surat izin tadi diserahkan kepada Gubernur yang diteririza oleh Assisten 1. Dalam tempo satu hari kerja saja, nota dinas dari Gubernur yang ditujukan kepada Bupati Aceh Tengah, dapat saya terima. Selama dua hari hal-hal lain yang menyangkut penelitian di lapangan dapat diselesaikan di Bands Aceh, sehingga pada tanggal 23 April 1974 saya menuju kota Takengon di Aceh Tengah.

Selama di Bands Aceh saya ~iikunjungi oleh beberapa orang teman lama, yang umumnya pegawai negeri termasuk beberapa orang dosen. Dari pertemuan dengan mereka, ads dua kesan yang menarik hati saya. Pertama, kebaikan dan besarnya perhatian mereka untuk membantu saya, misalnya mengantar untuk menyelesaikan urusan-urusan saya. Kalau diminta bantuannya untuk mencari bahan-bahan tertulis berupa buku ke instansi-instansi tertentu, yang pasti berguna untuk penulisan yang akan datang, tampaknya mereka berusaha dengan sungguhsungguh. Hal yang kedua yang juga cukup menarik perhatian saya, rata-rata mereka banyak bertanya tentang pangkat dan golongan saya dalam status sebagai pegawai negeri. Oleh karma saya tidak menduga akan mendapat pertanyaan-pertanyaan yang demikian, dengan tidak sengaja saya telah sempat menjawab mereka, bahwa saya lupa golongan spa saya sekarang; karma selama in' di Jakarta di antara kolega di lingkungan kampus hampir tidak pernah membicarakan soal itu.3 Malahan mereka hafal tentang golongan dan pangkat teman-temannya di Bands Aceh; si Anu sudah golongan "x", si Polan sudah golongan "z". Pola seperti ini ternyata saya temukan juga ketika sudah sampai di Takengon. Malahan ketika kami akan pulang, banyak para pegawai yang mints bantuan supaya diuruskan kenaikan pangkatnya di Jakarta. Di kota ini pun tampak di kalangan mereka menghafal pangkat atau golongan pegawai lainnya, terutama yang berpangkat atau bergolongan tinggi.

Nota dims yang berasal dari Gubernur diteruskan kepada Bupati Aceh Tengah, dengan maksud untuk mendapatkan nota dims yang akan diteruskan kepada eselon bawahannya secara beranting yaitu Camat, Mukim, seterusnya kepada Gecik di mans penelitian dilakukan. Nota dims dari kantor Bupati Aceh Tengah ini ternyata cukup lambat keluarnya. Keterlambatan ini mungkin bukan atas dasar kesengajaan, tetapi mungkin karma mereka melihat mass penelitian ini cukup lama sehingga tak perlu terburu-buru. Kemungkinan lainnya karma saya berasal dari daerah ini sendiri, sehingga mereka tidak begitu terdorong untuk mempercepatnya; atau memang sudah demikian pola bekerja mereka. Dari pihak masyarakat sendiri begitu melihat kita sebagai orang barn, yang kebetulan berasal dari lingkungan perguruan tinggi, sebagian terus dapat menduga bahwa kita melakukan penelitian, di mans mereka menyebutnya dengan istilah "riset".

Sementara menunggu keluarnya rekomendasi dari kantor Bupati untuk dapat turun ke lapangan secara langsung, kita dapat mengisi waktu dengan pekerjaan-pekerjaan lain. Selama itu saga dapat melakukan observasi ke desa-desa lokasi penelitian dan mengadakan

wawancara kepada beberapa informan untuk lebih meyakinkan hipotesa yang telah digariskan sebelumnya. Saya juga menyiapkan pengetikan dan penstensilan Schedule dan kuestioner yang tidak mungkin dibawa dari Jakarta. Sementara itu karma saya kebetulan berasal dAri daerah imi sendiri, pada hari-hari pertama banyak didatangi oleh para kerabat dan tetangga. Mereka datang untuk menanyakan

tentang anaknya atau kerabat-kerabatnya yang ads di Jakarta; bahkan ads yang datang hanya sekedar mengobrol saja. Di antara kerabat yang kebetulan sedang konflik dengan orang atau kerabat yang lain, juga mengajukan masalahnya kepada saya. Adapun masalah yang umum mereka kemukakan ialah yang menyangkut soal harts, soal warisan. Mereka tidak mau tahu bahwa kedatangan saya ke daerah ini bukan untuk jadi pokrol, meskipun hal yang demikian ini akhirnya banyak sangkut-pautnya dengan penelitian ini.

Ada beberapa kasus, yang garis hubungan kekerabatannya sudah sedikit jauh dengan saya, yang selama ini tidak ads kontak sama sekali, kini datang mengunjungi saya mengadukan persoalan pribadinya. Kedatangannya ini sebenarnya cukup beralasan, karma mereka mendapat kabar bahwa saya ini adalah seorang SH (sarjana hukum). Menurut pikirannya, sangat tepatlah mengadukan problem yang sedang dialaminya kepada orang yang mengerti-hukum ini, sehingga is akan memperoleh kemenangan dalam perkaranya nanti. Kehadiran orang-orang seperti ini terhadap orang pendatang baru, rupanya sudah merupakan gejala umum sejak belasan tahun yang lalu. Bahkan sejak mass yang sudah cukup lama itu di daerah ini telah bermunculan pokrol-pokrol bambu. Kalau dapat saya melihatnya akibatnya keretakan dalam hubungan kekeluargaan menjadi semakin parah, yang sebagian besar bersumber dari motif yang bersifat ekonomis.

Ada satu gejala umum yang lain yang dapat kita amati pada mass-mass pertama kita berada di lingkungan masyarakat daerah ini. Hal ini saya singgung karena keseluruhan sikap mereka itu, seakan-akan merupakan suatu bentuk "izin" dari masyarakat itu sendiri, terhadap suatu pekerjaan penelitian seperti ini. Pada mass-mass pertama mereka umumnya menyambut dengan ramah dan mengadakan pendekatan-pendekatan tertentu. Selama itu mereka menunjukkan sikap ingin tahu terhadap peneliti dan pekerjaannya. Berikut ini barangkali saya dapat menunjukkan sekedar beberapa contoh. Seorang tukang listrik yang bekerja membongkar sebuah bang listrik yang kebetulan persis di depan tempat pemondokan saya, datang bertanya: "Mengenai soal spa sebenarnya yang di-'riset' di sini", yang sebelumnya sudah mengetahui tentunya bahwa saya melakukan penelitian di daerah ini. Ada orang yang tampaknya dengan sengaja menemui saya, seraya bertanya tentang tujuan kedatangan saya. la mengatakan perasaannya seperti tidak enak kalau belum mengetahui tujuan kedatangan saya. Seorang yang rupanya telah mengetahui bahwa kedatangan saya akan cukup lama di daerah ini, tampak langsung memberikan pendapat: "Jangan sampai lama di sini, sebab Saudara bisa menjadi bodoh". Kemudian dilanjutkan sambil berseloroh, - tapi selorohnya itu saya anggap cukup jujur -, "lagi pula kalau orang-orang seperti Saudara datang, kami tak punya harga". Ada lagi orang yang berpendapat sebaliknya: "Kedatangan orang-orang seperti Saudara meskipun hanya sebentar menyebabkan kami merasa tentram". Beberapa kasus orang berusia tua mempunyai pendapat yang sama: "Hendaknya ada dua-tiga orang seperti Saudara sehingga masyarakat ini bisa menjadi lebih baik".

Sementara itu waktu berjalan terus, pendekatan-pendekatan mereka semakin berkurang. Tampaknya kemudian mereka sampai kepada periode memberi penilaian terhadap peneliti, yang diambilnya dari sikap atau pembicaraan sehari-hari. Olah karma itulah rupanya mereka sering mengundang pendatang-pendatang baru itu untuk memberikan ceramah-ceramah di mersah (langgar) atau di tempat umum lainnya. Memang pada mereka ada rasa ingin tahu, ingin mendapat sesuatu yang baru dari pendatang ini, tapi sementara itu mereka membuat penilaian juga. Hal semacam ini telah biasa terjadi, di mana keesokan harinya timbul "resensi" tentang pembicaraan itu di tengah masyarakat. Pola seperti ini dapat kita ketahui dari ceritera mereka tentang orang lain' yang pernah datang ke daerah ini sebelumnya. Setelah penilaian itu dimiliki masyarakat, maka pendekatan mereka semakin berkurang, lalu timbul sikap acuh tak acuh. Namun dari sikap mereka yang pernah saya amati, mereka menjadi bersikap intim dan mengadakan pendekatan lagi setelah waktu penelitian ini akan selesai. Kampung juga biasanya didiami oleh anggota masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam beberapa belah (klen-kecil).

Dua bush kampung yang dipilih menjadi tempat penelitian ialah Bebesen dan Kebayakan, mempunyai beberapa ciri yang kurang-lebih sama. Kedua kampung terletak sama jaraknya dengan kota dan dengan "jalan rays propinsi" yang menghubungkan daerah ~ Gayo pada umumnya dengan "dunia luar" ke pantai utara Aceh. Adapun kota yang dimaksud ialah kota Takengon, ibu kota Daerah Tingkat II Aceh Tengah. Kedua kampung ini merupakan dua di antara kampung asal yang ada di daerah ini. Saya juga menganggap kedua kampong merupakan bagian dari suatu parul; masyarakat (moiety).2 Kedua kampung yang diantarai oleh jalan raya tersebut di atas, masing-masing di sebelah timur dan barat jalan itu, dikelilingi oleh areal persawahan. Dilihat secara umum masyarakat kedua kampong adalah pendukung dari satu kebudayaan, yakni kebudayaan Gayo.

Selama satu tahun melakukan pemelitiali ~di daerah ini saya telah memilih tempat tinggal di luar kedua desa penelitian. Saya telah memilih desa Blang Kolak I, yang terletak di sekitar kota Takengon. Seperti telah disinggung di atas, masing-masing kampung tadi merupakan bagian dari suatu paruh masyarakat; oleh karena itu kedua masyarakat 'secara historis dalam hal-hal tertentu berada dalam keadaan sensitif. Gejala seperti ini sebenarnya sangat mendalam di masa-mass yang lalu, yang sampai mass kini masih juga terasa. Memilih salah satu kampung untuk menjadi tempat tinggal, bisa memancing sensitivitas tadi, yang langsung atau tidak bisa mempengaruhi jalannya penelitian. Malah dengan saya memilih kedua kampung itu saja sebagai lokasi penelitian, ada pihak yang merasa saya mengingatkan kembali gejala yang telah mendasar dari masa lalu itu. Hal ini tampak dari sikap beberapa informan yang tertegun-tegun dalam memberikan keterangan. Ini terjadi karma yang bersangkutan berasal dari paruh yang satu, sedang peneliti sendiri diketahuinya berasal dari paruh yang lain. Prasangka yang demikian tentu diusahakan untuk dipadamkan, meskipun tidaklah mudah untuk meyakinkan mereka.

Pengaruh perasaan yang tumbuh di kedua masyarakat, terbukti kalau untuk beberapa saat saya tidak muncul ke kampung yang satu tersembunyi suatu tuduhan, kenapa "di sang" terus-menerus. Car memilih kawan dalam pergaulan sehari-hari dikehendaki haru seimbang dari kedua belah pihak. Demikian pula dalam memili asisten seakan-akan harus disepakati oleh masyarakat kedua kampung. Dengan perkataan lain mereka menghendaki harus adil; kepada mereka harus ditunjukkan bahwa kita tidak berat sebelah. Namu secara keseluruhan dilihat dari mana asal moiety peneliti, pada mulany terasa terjadi ketidakseimbangan suasana. Satu hal yang menarik bahwa mereka yang berlainan, moiety dengan peneliti, pada taha

permulaan penelitian terasa ada kekakuan komunikasi; tetapi setelah memahami maksud penelitian mereka ternyata lebih terbuka. Akhirnya masalah ini terasa tidak menjadi problem yang berarti lagi.

Mendapatkan pemondokan bagi saya yang dipakai selama penelitian tidak ada kesulitan. Sebelum saya sampai ke daerah ini pihak kerabat ternyata sudah menyediakan, sesuai dengan saran yang saya berikan. Saya memilih rumah yang disediakan ini yang memungkinkan saya bisa bekerja lebih baik, antara lain karena tersedianya fasilitas penerangan listrik. Dengan demikian saya dapat bekerja pada malam hari untuk mencatat kembali atau mendengarkan rekaman-rekaman.

Suatu hal yang tidak terduga yang ternyata mengganggu pekerjaan sehari-hari ialah, karena rumah ini terletak di pingir jalan raya, jalan orang lalu-lalang ke kota atau ke kantor. Banyak di antara mereka yang datang bertamu sekedar untuk iseng-iseng saja. Kalau ada orang laiunya lagi yang akan ke kantor maka is mampir juga. Lama atau tidaknya mereka di rumah tergantung pada suasana pembicaraan, padahal tujuan mereka adalah ke kantor. Memang kedatangan mereka ini bisa berguna untuk penelitian ini, tetapi sering juga mengganggu rencana yang ada.

Masalah makan dan makanan dapat saja dengan segera menyesuaikan diri, karena sebelumnya juga sudah mengenal. Hal ini menjadi lebih terbantu sebab yang mengurus makan adalah kerabat sendiri sehingga dapat diatur. Cuma saja kalau kita sedang berada di rumah informan atau responden, kita terpaksa harus menghadapi kebiasaan yang mereka miliki. Di daerah ini ada kecenderungan masyarakat untuk menyuguhi makan nasi kepada tamunya. Karena ini merupakan kebiasaan mereka, mencari alasan untuk menolaknya tentu harus berhati-hati. Penolakan yang terasa di dalam diri kita tentu dengan alasan ekonomis dan kesehatan. Penolakan ekonomis berarti kita merepotkan mereka, sedang alasan kesehatah misalnya kita belum waktunya untuk makan. Namun alasan seperti ini tak mungkin kita kemukakan kepada mereka. Alasan penolakan yang tidak tepat bisa membuat mereka kecil hati, menuduh kita sombong, mentang

mentang orang kota, atau lebih ekstrem lagi dig mengira kita menganggapnya mempunyai guns-guns (black magic). Ini tentu sangat berpengaruh kepada kelanjutan penelitian ini sendiri.

Sehubungan dengan mengatasi masalah penyakit bagi saya yang melakukan penelitian tidak jauh dari kota juga tidak banyak masalahnya. Di kota Takengon tersedia dug orang dokter umum dan seorang dokter gigi. Di antara dokter ini ada yang menunjukkan toleransinya yang sangat besar terhadap saya, karma setiap kali saya berobat ke tempat prakteknya is selalu menolak pembayaran. Penolakan ini katanya berdasarkan sumpah dokter, yang tidak boleh menerima pembayaran dari kerabat, tetangga dan kolega. Rupanya saya sendiri dikategorikan sebagai kolega. Oleh karena itu secara psikologis kita menjadi kurang enak berobat ke sang secara terus-menerus, justru ada dokter lain sebagai penggantinya.

Memang setelah kira-kira empat bulan saya berada di daerah ini,

saya mendapat gangguan kesehatan, beberapa kali mendapat serangan tekanan darah tinggi. Gangguan ini mungkin karma kelelahan atau kompleks tekanan pikiran. Kemungkinan oleh sebab yang terakhir ini, setelah banyak melakukan observasi dan berpartisipasi dengan masyarakat setempat. Kini kita dihadapkan dengan berbagai kenyataan sosial, dengan berbagai nilai yang tersembunyi di batik kenyataan itu. Sebagai peneliti tentu kita harus menyerap kenyataan-kenyataan itu ke dalam catatan penelitian, tanpa banyak mencampuri atau mengguruinya.. Dengan perkataan lain kita tetap sebagai partisipan dan sebagai observer. Di pihak lain kita harus membendung berbagai keinginan untuk maksud mencoba. mencampuri dan memperbaikinya. Kalau kita sampai menyempatkan diri untuk mengatur kenyataan itu secara langsung, maka peranan kita sebagai peneliti akan terbengkalai. Ini bukanlah maksud kita yang datang dari jauh-jauh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar