Selasa, 13 Januari 2009

Pengamatan Terlibat oleh Seorang Peneliti Pribumi Asing: Masalah Masuk ke Dalam dan Keluar Kebudayaan

1. Pengantar

Jelas bahwa semua penelitian sosial menuntut metode-metode analisa, pengukuran dan interpretasi data yang tepat, agar dapat dibuat generalisasi induktif'yang mantap melalui inferensi statistika. Namun para ahli ilmu pengetahuan sosial terutama harus benar-benar memperhatikan satu persyaratan lainnya, yaitu bahwa data yang harus dianalisa secara kuantitatif itu sungguh-sungguh bersifat benar.

Data yang benar hanya dapat diperoleh dan dijamin terutama dengan metode-metode kualitatif, tetapi validitas dan ketepatan data tidak hanya ditentukan oleh metode dan skala pengukuran, juga tidak oleh "sifat intrinsik" dari besarnya apa yang diukur, melainkan juga oleh fungsi-fungsi dalam penelitian yang ingin dicapai oleh pengukuran tersebut (Kaplan, 1964: hal. 198), dan khususnya oleh pengenalan faktor-faktor distorsi dalam selisih-selisih sistematik.

Pengumpulan data yang benar dengan validitas yang tinggi termasuk metode-metode kualitatif seperti pengamatan terlibat, wawancara mendalam dengan pertanyaan terbuka, pengumpulan data individu, teknik-teknik proyeksi psikologi, atau pengumpulan dokumentasi dan kasus-kasus kongkret. Dalam m.etode-metode tersebut peneliti dan para responden atau informannya berinteraksi dan berkomunikasi dalam situasi-situasi sosial yang menuntut perhatian seksama terhadap aspek manusiawi dalam proses penelitian. Interaksi antara peneliti dan orang-orang yang diteliti ini, dan kenyataan bahwa si peneliti menjadi bagian dari situasi yang diteliti, merupakan titik perbedaan yang penting antara ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam (Powdermaker, 1966: hal. 286) dan juga antara metode-metode kualitatif yang telah disebutkan di muka, yaitu observasi partisipan dan open ended probing interviewing, dan metode-metode kuantitatif yang semata-mats bertumpu pa c kuestioner. l

Keterlibatan peneliti dalam kehidupan sosial komumtas yang ditelit mencakup soal yang banyak didiskusikan, yaitu kecenderung peneliti untuk secara sadar atau tidak sadar memproyeksik gambaran dirinya sendiri dan gambaran situasi, jika peneliti muncul d depan orang-orang lain. Namun, untuk memperoleh data yang bena serta melaporkan fakta-fakta secara obyektif, is harus memililC kemampuan untuk melepaskan, diri sesudah melibatkan diri, atai dengan metafora Hortence Powdermaker is harus memilik kemampuan untuk "masuk ke dalam dan keluar dari masyarakat° (Powdermaker, 1966: hal. 22, 290).

"Konsep-konsep pengalaman dekat" yang diperoleh peneliti selamj pengamatannya sebagai orang yang terlibat dalam kehidupan sosi komunitas selama berlangsungnya pertemuan-pertemuan wawanca yang berulang kali dan diskusi-diskusi dengan para informannya ya berlangsung lama, harus ditransfer menjadi "konsep-konsep peng laman jauh" yang digunakan untuk tujuan-tujuan ilmiahnya, h mana memang merupakan hakekat pemahaman, terutama dalan~ berbagai disiplin ilmu seperti antropologi.3

Sebaliknya, seolah-olah menggunakan konsep-konsep pengala an-dekat itu secara spontan, secara tanpa sadar dan fasih, dan biasanl mereka tidak tahu bahwa dalam penggunaan itu terkandu _ konsep-konsep semacam itu, kecuali secara sekilas dan pa kesempatan-kesempatan tertentu saja (Geertz, 1975: hal. 48). Kare itu, rupanya sulit bagi orang-orang itu untuk keluar dari masyarak yang ikut dihayatinya, dan hal itu berlaku khususnya jika peneliti i seorang warga dari kebudayaan yang ditelitinya.

Dalam bukunya yang berjudul Stranger and Friend (1966) Horten Powdermaker menulis bahwa seorang peneliti harus menco berkomunikasi dengan orang-orang yang ditelitinya sedemikian ru sehingga is berubah dari.seorang asing menjadi teman. Namun is ju harus mampu melaksanakan proses yang masih lebih sulit lagi, yai kembah lagi menjadi seorang asing. Dengan mengutip A. Roe (1953) is kemudian mengatakan bahwa rupanya hanya orang-orang yang

benar-benar menaruh perhatian terhadap hubungan-hubungan sosial sajalah yang memiliki kemampuan untuk keluar dari kebudayaan mereka (1966: hal. 20).4 Oleh karena itu kemampuan partisipan dari suatu .kebudayaan untuk meneliti kebudayaan yang bersangkutan secara obyektif dan tetap tidak terlibat di dalamnya, sudah Bering kali dipertanyakan sejak awal adanya disiplin-disiplin ilmu yang Bering menggunakan metode pengamatan terlibat, seperti antropologi sosial. Namun kemampuan untuk beralih dari "konsep-konsep pengalamandekat" ke "konsep-konsep pengalaman jauh" dan sebaliknya, janganlah dikacaukan dengan kemampuan untuk terlibat dan bersikap subyektif pada satu scat, dan lepas dari keterlibatan dan bersikap obyektifpada lain scat. Hal yang pertama adalah prosedur metodologi

yang dapat dipelajari oleh setiap petugas penelitian, sedangkan hal yang kedua ialah kemampuan untuk bersikap obyektif atau subyektif merupakan proses mental yang sungguh-sungguh tergantung dari kemampuan individu masing-masing, seperti dikatakan oleh Anne Roe dan Hortence Powdermaker.

Untuk membahas soal-soal yang telah saya kemukakan tadi secara lebih kongkret, saya akan membicarakan pengalaman lapangan saya sendiri dalam tiga macam kebudayaan yang saya teliti dalam jangka waktu sepuluh tahun yaitu: (1) orang petani singkong dan padi di dua desa di Jawa Tengah bagian seiatan; (2) orang peramu sagu di desa-desa di daerah rawa-rawa di pantai utara Irian Jaya; (3) dan orang nelayan bangsa Belanda di Urk di Teluk Ijsselmeer, Negeri Belanda. Dalam penelitian yang pertama, saya merupakan partisipan pribumi dari kebudayaan Jawa; dalam penelitian yang kedua saya merupakan seorang asing sama sekali; dan dalam penelitian yang terakhir saya seorang asing juga, tetapi saya sudah mengalami enkulturasi dan sosialisasi dalam kebuda jraan yang bersangkutan, yaitu kebudayaan Belanda, sejak awal masa kanak-kanak saya.

2. Petani jawa

Para petani Jawa yang saya teliti pada tahun 1958 dan 1959 tinggal dalam dua komunitas di daerah Karanganyar, kurang-lebih 100 kilometer sebelah barat kota Yogyakarta di Jawa Tengah bagian selatan. Komunitas yang satu adalah Celapar, sebuah desa pegunungan yang agak terpencil, dengan rumah-rumahnya tersebar lugs di pegunungan Serayu Selatan, di sebelah utara kota kabupate~ Karanganyar; yang satu lagi adalah Wajasari, sebuah desa tanah dat~j yang berpenduduk padat, terletak di sebelah selatan kota Karanganya~ tidak jauh dari jalan raya dan jalan kereta api yang membentan sepanjang Pulau jaws bagian selatan.

Celapar terdiri dari 13 kelompok tempat tinggal, meliputi daera seluas 560 hektar, dan merupaka'h contoh dari desa jawa yang bersif tradisional.5 Pada tahun 1958 penduduk desa itu berjumlah 1.881 jiw Meskipun beberapa padukuhan atau bagian dari desa itu sangat pad' penduduknya, akan tetapi sebagian besar terpencar-pencar, dengatj rumah-rumah yang dikelilingi pekarangan luas di mana ditanam sebagian besar kebutuhan sehari-hari penghuninya, seperti sayu sayuran, bumbu-bumbuan, buah-buahan, tanaman obat-obatar tanaman untuk membuat sabun atau bahan kosmetik tradisiona tembakau dan jagung, untuk rokok kelobot6 dan sebagainya; merelca juga memelihara ikan di kolam di pekarangan itu. Meskipun beberapa rumah yang dibuat dari batu bata dan semen, dengan jendel kaca, dengan gaya arsitektur seperti rumah-rumah di kota, sebagiar~ besar masih dibuat dengan paya tradisional. Bahkan masih ada beberapa rumah bergaya joglo jawa yang sudah sangat tua usianya dengan tiang-tiang terukir dengan hiasan motif kuno. Di bany rumah, seorang pengunjung bahkan masih dapat melihat adanya al pemintal yang menghasilkan kain lurik jawa tradisional, dan selemb kain katun tergantung pada kerangka bambu, sedangkan di bawahnya terdapat peralatan batik.

Makanan pokok sama dengan kebanyakan penduduk des pegunungan Serayu Selatan, yaitu singkong, meskipun sebenarny mereka juga menanam padi untuk keperluan pesta dan selamatan. Sesudah dikupas kuht luarnya, singkong ditaruh di dalam keranjang dan direndam di sungai yang mengalir terus selama beberapa hari, untuk dicuci dan kemudian ditumbuk menjadi butir-butir beras kasar. Besas singkong itu kemudian dikeringkan dan dimasak sebagai pengganti nasi (sega oyek).

Tingkat-tingkat dalam komunitas dibagi atas dasar keturunan. geturunan penduduk ash (kenthol) merupakan bangsawan kuno desa itu sehingga pembagian tingkat tidak berdasarkan pemilikan tanah. Seperti dalam masyarakat desa tradisional, pandai besi juga rnempunyai kedudukan khusus di Celapar; sedangkan susunan sosial desa Jawa kuno ialah susunan desa mancapat, berupa federasi lima desa, yaitu satu di sebelah utara, satu di sebelah barat, satu di sebelah selatan dan satu di sebelah timur dan desa induk di tengah; desa mancapat ini juga ada di sebelah utara Karanganyar, meskipun fungsi aslihya sudah hilang.l° Di daerah Karanganyar federasi-federasi desa semacam ini, yang di jaman dulu bekerja sama di saat-saat genting, perang dan bencana, disebut glondhongan." Semua kepala desa dari kelima desa yang membentuk glondhongan Cepalar itu termasuk golongan kenthol dan masih bersaudara dengan kepala desa, demikian pula sebagian besar anggota administrasi desa. Mereka umumnya tidak dapat membaca dan menulis huruf Latin, meskipun semuanya dapat membaca dan menulis aksara Jawa. Hanya sekretaris dari masing-masing desa tidak buta huruf Latin sesuai dengan tuntutan pemerintah.

Namun, meskipun mereka sendiri berorientasi tradisional, tetapi semua anggota administrasi desa dan banyak petani kenthol di Celapar menyekolahkan anaknya, dan tidak sedikit yang bahkan berhasil mengirim anak mereka ke sekolah lanjutan di kota kabupaten.

Penduduk Celapar memeluk "agama Jawa" (Agami Jawi),t2 dan hanya sebagian kecil ialah sekitar lima prosen keluarga Celapar menjadi santri. Tempat tinggal mereka terpusat di salah satu padukuhan di daerah selatan, di man! terdapat mesjid desa Celapar. Desa Celapa juga dapat membanggakan diri memiliki cukup banyak tempat su atau pepundhen, salah satu di antaranya terkenal di seluruh Pulau Jaw Orang-orang jaw! dari tempat yang jauh jauh (bahkan dari Jakarta biasa datang ke tempat itu untuk bersamadi. Tempat suci itu berup gua yang terletak di tengah hutan jati, di sebelah selatan desa Celapar tidak jauh dari makam keramat yang menurut keyakinan pendud merupakan makam dari leluhur pendiri desa Celapar yang legend! bernama Untung Surapati. Bukan hanya orang-orang beriman at a orang-orang yang mempunyai ambisi tertentu dari Jakarta ata tempat-tempat jauh lainnya yang datang bersamadi di pertapaan Untun Surapati, melainkan juga para penjahat dan pencuri. Beberap padukuhan di desa Celapar bagian utara memang menjadi tempa tinggal beberapa penjahat terkenal yang biasa melakukan kejahatan

daerah jaw! Tengah bagiah selatan. Salah seorang di antaranya, yan menjadi salah satu informan saya, secara teratur bersamadi secar intensif di pertapaan Untung Surapati, untuk memperoleh kekuata gaib yang diperlukan dalam profesinya.

Hidup artistik dan intelektual desa Celapar berpusat pada seorang dhalang wayang Wit terkenal di seluruh daerah Bagelen dan sekitar kot _ Purwokerto; is bahkan pernah diundang untuk mengadaka pertunjukan di kota-kota besar yang jauh seperti Surabaya dan Malan di Jawa Timur. Dhalang ini mempunyai kewibawaan besar di antar ` dhalang-dhalang lainnya di desa itu, yang semuanya adalah beka muridnya dan berada di bawah pengaruhnya. Namun is jug! menjali hubungan baik dengan para pembuat gamelan, yang selain membu gamelan, juga menyetemnya. Menurut tradisi para pandai pembua gam'elan itu mempunyai kedudukan yang iebih tinggi daripada par dhalang dalam stratifikasi sosial desa.

Namun sifat tradisional Celapar tidak menjamin adanya ikli pedesaan yang aman, tentram dan selaras. Ada tanda-tanda konflik dan persaingan yang sudah berlangsung lama berdasarkan perbedaanperbedaan kelas dan pertikaian dalam soal tanah. Pada tahun 1958 konflik tersebut mengambil bentuk pertikaian di antara anggotaanggota berbagai partai nasional cabang desa setempat, yaitu PNI, PKI dan NU yang didirikan di desa Celapar sejak kampanye untuk Pemilihan Umum tahun 1955.

Desa kedua yang saya teliti, yaitu Wajasari, merupakan desa jaw! yang lain macamnya. Pada tahun 1958 sekitar 1.046 jiwa tinggal berdesak-desakan dalam rumah-rumah yang dibangun berdekatan satu sama lain, sehingga tidak cukup tempat bagi penghuninya untuk bertanam sayur-mayur, bumbu, buah-buahan, tanaman obat-obatan, dan lain tanaman untuk keperluan sehari-hari. Oleh karena itu setiap pengunjung dengan segera dapat melihat bahwa penduduk Wajasari jauh lebih tergantung pada pasar dalam hal keperluan sehari-harinya. Obat-obatan paten seperti Aspirin dan minyak-gosok serta rokok buatan pabrik, mudah diperoleh di kios-kios rokok yang ada di berbagai tempat sepanjang jalan desa. Pandangan sekilas atau situasi dalam rumah akan segera menunjukkan bahwa tidak ada alat tenun tangan dan kerangka bambu dengan bahan katun yang belum selesai dibatik. Selain itu di dapur kompor minyak tanah sudah menggantikan tungku jaw! yang tradisional dan alat bakar anglo dengan arang bikinan sendiri, yang secara khas merupakan bagian belakang dari rumah-rumah tradisional di desa Celapar. Berbeda dengan penduduk daerah pegunungan di desa Celapar yang makan sego oyek, penduduk desa Wajasari makan nasi yang berasal dari beras.

Stratifikasi sosial komunitas desa berdasarkan pemilikan tanah dan kekayaan, dan hal ini Bering dapat dilihat secara langsung dari gaya rumah mereka. Penduduk desa yang kaya telah merombak rumah mereka dan meniru rumah-rumah di kota yang dibuat dari batu bata, berjendela kaca, beratap genting dan berlantai semen.

Sistem glondhongan dari konfederasi desa tidak dikenal di kalangan penduduk dari komunitas desa tanah datar itu, dan semua anggota administrasi desanya dapat membaca dan menulis. Kepala desanya kebetulan seorang yang berasal dari kota. Ia pernah tinggal di Bandung selama lebih dari 15 tahun, di man! is bekerja sebagai montir mobil dan dapat berbahasa Sunda dengan lancar.

Suatu bagian besar dari penduduk Wajasari adalah santri, dan tersebar di seluruh desa ada lebih dari 20 buah langgar. Kuburan di Wajasari hampir tidak ada yang menggunakan batu nisan, karena para santri itu tidak begitu memperhatikan makam leluhur dan sanak-saudara yang telah meninggal, sesuai dengan keyakinan ora Islam Santri, bahwa manusia tidak boleh menyembah siapa pun da~ apa pun juga selain Allah. Makam keramat dari para pendiri desa, mana orang dapat bersamadi, atau, dari mana orang-orang yan ambisius dan para penjahat berharap memperoleh kekuatan gaib, tidal] ada di Wajasari.

Karena orientasi santri yang begitu kuat itu, para orang tua d Wajasari enggan mengirim anak-anak mereka ke sekolah nege mereka lebih suka anak mereka belajar membaca Qur'an atau belajar pesantren.

Tujuan saya semula untuk meneliti kedua desa itu ialah untuk mengumpulkan data bagi pembuatan suatu deskripsi antropologi mengenai perubahan kebu.dayaan jawa dengan desa lain yang lebih dipengaruhi oleh perkembangan jaman. Selama liburan pertengahan tahun 1958 saya tinggal di Celapar selama tiga bulan, kemudian satu bulan di Wajasari. Selama liburan tahun berikutnya saya pergi lagi dan tinggal di Celapar selama enam minggu dan dua minggu di Wajasari Pada awal penelitian lapangan, saya mulai dengan kegiatan-kegiatan yang oleh para ahli antropologi sering disebut routine inquiries (Oliver, 1949: hal. 4). Saya membuat peta kasar dari berbagai bagian desa dan daerah sekitarnya: saya mengutip, meneliti dan menganalisa secara kritis register desa; saya membuat sampel acakan dari sepuluh prosen dari penduduk; saya mengunjungi keluarga-keluarga yang termasuk dalam sampel tersebut dan melaksanakan wawancara dengan metode genealogi terhadap mereka; sementara itu saya mencoba menjalin hubungan yang lebih tetap dengan orang-orang yang dapat bertindak sebagai informan kunci bagi saya atau sebagai informan mengenai sektor-sektor khusus dari kehidupan desa jawa dan unsur-unsur yang khas dari kebudayaan petani.

Dapat dikatakan bahwa saya cukup menguasai kebudayaan jaws karena saya sudah pernah belajar kesusastraan jawa, baik jawa kun maupun jawa modern. Saya sudah pernah belajar seni tari kerato Jawa dan seni suara gamelan dan malahan pernah menjadi guru to juga. Sebagai guru tari tentu saya harus menguasai sopan-sant Jawa dan sistem simbolik jawa sebagaimana tercermin dalam sast wayang. Walaupun demikian selain bahasa, yang memang merupaka bahasa ibu bagi saya, semua pengetahuan saya tadi ternyata hamp' tidak berarti sama sekali untuk memahami hidup komunitas peta desa, khususnya pada tahap-tahap awal dari penelitian lapangan saya Pengetahuan saya mengenai kebudayaan jgwa terbatas pada peradab keraton jaws, dan meskipun saya tidak perlu bersusah-payah mempelajari suatu bahasa baru untuk berkomunikasi dengan Para informan saya, namun saya merasakan bahwa meneliti komunitas petani jawa tersebut hampir serupa dengan meneliti kebudayaan asing. Oleh penduduk kedua komunitas itu saya . dianggap sebagai orang asing; sebab meskipun saya orang jawa, namun saya dianggap sebagai orang kota yang berbeda dan lebih tinggi lapisan sosialnya, yaitu seorang pegawai negeri. Menurut pandangan petani jaws yang amat kuat kesadaran kelas sosialnya, orang harus bersikap hati-hati terhadap orang pegawai negeri, berlaku sopan dan hormat, dan tetap menjaga jarak. Sebenarnya saya tidak sepenuhnya asing, tetapi mau tak mau saya terjerat dalam situasi itu selama sebagian besar masa penelitian lapangan. Bagi saya masalahnya bukanlah masuk ke dalam kebudayaan, mencoba menembus lebih dalam, dan kemudian keluar lagi; saya terjerat dalam suatu kebudayaan dan tidak dapat keluar maupun menembus lebih dalam.

Tentu saja saya berhasil mengumpulkan "informasi rutin" mengenai kebudayaan petani jawa. Dengan memeriksa register demografi desa yang sangat semrawut di Celapar, tetapi sangat rapi di Wajasari, saya dapat memperoleh data demografi, seperti data mengenai migrasi musiman, emigrasi dan imigrasi, mengenai pekerjaan, dan mengenai komposisi ,keluarga, meskipun saya tidak berhasil memperoleh data mengenai kelompok umur sebab petani Jawa sangat tidak peduli dan tidak tahu pasti mengenai umur mereka. Dengan memeriksa register tanah desa yang kacau dan tidak lengkap baik di Celapar maupun di Wajasari, dengan bantuan Pak Carik atau sekretaris desa, saya berhasil memperoleh data mengenai luas dan lokasi tanah milik individu, tanah kolektif atau tanah komunal, yang saya beri tanda dalam peta kasar dari kedua desa yang sudah saya buat sebelumnya. Dengan mengadakan wawancara dengan metode genealogi atas 36 orang informan di Celapar dan 22 orang informan di Wajasari saya kumpulkan cukup banyak inforrriasi mengenai susunan keluarga inti, mengenai kehidupan kekerabatan pada umumnya, mengenai jaringan kekerabatan, mengenai upacara dan pertemuan keluarga, mengenai upacara sepanjang lingkungan hidup, mengenai hukum keluarga dan hukum perkawman, mas kawin, uang tukon, hak milik dan warisan, demikian juga mengenai talak dan perceraian.

Wawancara---Wawancara itu berlangsung lambat sekali. Sebagian besar dari infofman saya tampak tegang, tidak banyak bicara, dan tetap membungkam mengenai latar belakang yang lebih dalam dari berbagai peristiwa konflik, mengenai bagaimana perasaan orang jika fmbul konflik, dan mengenai bagaimana pendapat orang tentang lawan dan musuh mereka. Saya juga tidak berhasil menyela~ perasaan mereka, atau mengetahui pandangan mereka menger kebahagiaan, mengenai hidup yang memuaskan atau yang kura~ memuaskan, atau mengenai anggapan mereka tentang hidup data kemiskinan.

Sebaliknya di kedua desa itu saya dapat berhubungan secara le bebas dengan kaum muda yang kurang terikat oleh sopan santun at norms-norms yang menuntut sari Para petani, sikap hormat y at berlebihan, sikap menahan diri dan berhati-had dalam berhubung dengan Para penegak hukum dan para pegawai negeri dari. ko Sesudah empat-lima minggu penelitian lapangan saya menca tingkat di mans hubungan yang formal dan kaku dengan kaum mu' desa itu hilang perlahan-lahan. Mereka mendatangi saya, mula-m _ dengan takut-takut namun kemudian dengan lebih berani, m mendekati saya, terutama kalau saya sedang duduk bekerja a membaca di pekarangan rumah kepala desa tempat saya tingg Mereka mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai k Jakarta di mans saya tinggal; kemudian sesudah saya menceritak bahwa saya pernah belajar di Amerika Serikat dan pernah juga di Ne Mexico di mans saya bertemu dengan orang Indian, mereka mu' bertanya-tanya tentang Amerika Serikat dan tentang orang-or

Indian yang pernah mereka saksikan dalam film cowboy, yang dipu di gedung bioskop di kota kabupaten. Anak kepala desa Celap mula-mula amat takut dan sungkan, tetapi akhirnya juga mendek

saya dan bertanya, apakah mungkin bagi seorang desa seperti masuk sekolah pendidikan pilot AURI. Tiga bulan yang lalu is ba saja lulus ujian SLA dan cita-citanya adalah mengemudikan pesawat j~ tempur yang sering diamatinya mengadakan latihan terbang data formasi di atas Pegunungan Serayu Selatan. Melalui interaksi deng kaum muda desa selama tahap terakhir dari penelitian lapangan say saya berhasil memperoleh beberapa informasi tentang konflik-konflik dalam komunitas desa.

Tempat di mans saya juga bisa berhubungan secara bebas dengan kaum muda ialah di gardu ronda malam milik Organisasi Pemuda Rakyat atau OPR. Para anggota organisasi ini antara lain ditugaskan untuk jaga malam secara bergilir, sekali setiap dua minggu, pada jam jam tertentu, sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan Hampir setiap malam saya ikut jaga malam bersama Para anggota OPR itu selama satu-dua jam pada jam jam jags yang berbeda-beda dais mendengarkan percakapan serta sends-gurau mereka saris mengitari api; perlahan-lahan saya pun dapat mengikuti senda-gurau mereka dan ambit bagian dalam gunjing mereka. Selain informasi umum yang bersifat rutin, yang sudah saya sebutkan tadi dan usaha yang sia-sia untuk memperoleh data mengenai berapa penghasilan dan pengeluaran keluarga petani setiap tahunnya, akhirnya saya temukan di lapangan bahwa saya bisa paling berhasil mernperoleh data dan informasi yang tepat dan terperinci, mengenai

pranata gotong-royong. Karma khususnya selama tahun 1950-an, masalah untuk menjadikan gotong-royong sebagai unsur penting dalam orientasi nilai budaya Indonesia sedang menjadi bahan yang banyak dibicarakan orang, baik pada tingkat kebudayaan nasional maupun politik, maka saya memutuskan untuk mengikuti jaman dan memusatkan peihatian saya pada sistem gotong-royong dalam masyarakat Jawa selama sisa waktu penelitian lapangan saya. Demikian dengan spa yang kadang-kadang disebut metode grounded-research, saya menemukan - sambil berada di lapangan suatu masalah yang dapat saya jadikan fokus dari penelitian saya. Pada waktu itu saya berhasil memperoleh bantuan dari lima orang mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bersama dengan mereka itu, saya kumpulkan data mengenai gotong-royong terutama melalui observasi dan wawancara yang terbuka, tak berstruktur dan bebas, namun terarah.

Saya membuat catatan sebanyak mungkin mengenai kegiatan bersama yang saya jumpai setiap harinya bits saya sedang berjalan jalan di desa. Berkenaan dengan kegiatan kolektif semacam itu saya catat unsur-unsur seperti tersebut di ba-wah ini:

1. jenis pekerjaan dan tempatnya;

2. jumlah, jenis kelamin, nama dan tempat tinggal Para pesertanya;

3. nama dan tempat tinggal orang-orang yang mempunyai inisiatif untuk melaksanakan pekerjaan bersangkutan;

4. hubungan yang sebenarnya antara orang-orang yang bekerja dengan orang yang mempunyai inisiatif;

5. istilah setempat yang sebenarnya untuk berbagai kegiatan yang

sedang dilakukan;

6. sikap dan tindakan berbagai peserta dalam kerja kolektif tersebut;

7. upah atau imbalan yang diharapkan oleh Para peserta untuk pekeriaan yang mereka lakukan.

Mengenai informasi nomor (1), (2), dan (3), saya tidak menem kesulitan apa pun untuk memperolehnya. Informasi nomor (4) p tidak sukar diperoleh, tetapi membutuhkan waktu lama karena seti kali saya mengajukan pertanyaan kepada salah satu peserta mengen hubungannya dengan orang yang mempunyai inisiatif atas pekerja ` itu, jawaban yang mula-mula saya peroleh adalah selalu saja sedere yang bisa saja berarti "kerabat", "teman", "kenalan". Sesu

mencoba mengajukan empat-lima pertanyaan lagi, barulah akhirn saya peroleh jawaban yang memuaskan. Informasi nomor (5) biasan dapat segera dicatat, karena saya dapat menanyakan hal itu pada pa informan yang selalu menyertai saya.1s Informasi nomor (6) teruta saya peroleh melalui observasi, sementara informasi nomor (7) sa peroleh melalui pertanyaan langsung kepada pekerja yang bersangk an, meskipun masalahnya tidak begitu sederhana seperti duga saya.16

Dengan cara itu saya berhasil mengumpulkan data atas 39 kas aktivitas gotong-royong di Celapar dan 21 kasus di Wajasari. D bahan-bahan tersebut saya kecuahkan pekerjaan yang upahn' diterima dalam bentuk uane. luea sava kecualikan dari analisa saya data mengenai kegiatan-kegiatan pertanian yang berhubungan dengan bagi hasil. Dengan demikian bahan mengenai aktivitas saling Inembantu atau gotong-royong, memberikan kesan bahwa:

1. terdapat beberapa tipe gotong-royong yang didasarkan atas prinsip-prinsip yang berbeda, yang nampaknya juga dibedakan oleh penduduk desa itu sendiri dengan istilah-istilah khusus;

2. sikap para pesertanya pun berbeda terhadap masing-masing tipe; ada kegiatan gotong-royong yang dilakukan secara spontan dan sukarela, tetapi ada Pula di mana Para pesertanya memperhitungkan dengan teliti setiap jasa yang mereka berikan, untuk mendapat imbalan yang sepadan;

3. frekuensi kegiatan gotong-royong berkurang dalam komunitas di mana terdapat lebih banyak persediaan tenaga buruh tani yang tidak memiliki tanah dan dalam kondisi sosial di mana pengaruh kehidupan kota sudah lebih lanjut.

Selanjutnya saya mencoba memperoleh mformasi mengenai reaksi masyarakat dan sistem sanksi1$ terhadap orang yang menolak atau tidak mau ikut serta dalam kegiatan gotong-royong. Saya tidak tahu jalan lain untuk mengumpulkan data tentang sistem sanksi kecuah dengan mengumpulkan kasus-kasus penolakan, biasanya melalui kaum muda, dan kemudian mencoba membicarakan masing-masing kasus secara terpisah dengan para responden dalam sampel saya. Masalah yang harus saya hadapi ialah bahwa orang-orang yang lebih tua selalu enggan mengutarakan pendapat mereka, sedangkan kaum mudanya sering mendukung pendapat yang nampaknya terlalu toleran atau terlalu rasional menurut ukuran-ukuran komunitas. Dengan demikian dari pengalaman saya sendiri, saya menemukan contoh kasus di mana seorang peneliti yang menjadi warga kebudayaan yang bersangkutan namun yang dipandang sebagai orang luar, tidak berhasil memperoleh data yang sebenarnya yang sangat dibutuhkannya.

3. Peramu Sagu di Pantai Utara Irian Jaya

Para peramu sagu yang saya teliti selama bulan Juli dan Agustus 1963, dan juga selama liburan empat bulan, yaitu Juni sarripai dengan September tahun berikutnya tinggal di pantai berawa-rawa sebelah utara Irian Jaya. Di daerah itu mengalir banyak sungai k yang berasal dari pegunungan Irier dan Siduarsi, sekitar 20 sampai kilometer di pedalaman; demikian pula sungai-sungai yang lebih be seperti sungai Tor, Biri dan Wiruwai yang bersumber gunung-gunung yang lebih tinggi yaitu gunung Gautier, Karamor Bonggo, kira-klra 80 sampai 120 kilometer lebih jauh ke pedalam Pantai yang berawa-rawa itu tertutup dengan pohon bakau, but agathis yang lebat dan pohon gagu. Jalur pantai pasir yang terb selebar 50 sampai 100 meter sebagian ditumbuhi pohon kela' diselang-seling dengan pohon casuarina.

Penduduk daerah itu yang pada tahun 1963 berjumlah 4.500 ji terutama mendiami 25 buah desa kecil-kecil di pantai berpasir. Bany di antara mereka adalah pindahan dari daerah-daerah pegunung dekat sumber-sumber sungai; banyak yang sudah pindah 75 tahun yang lalu bahkan lebih, sebagian baru satu atau dua generasi yang la l dan ada pula yang baru pindah pada tahun-tahun belakangan ini. A perpindahan penduduk ke daerah hilir ini berlangsung terus, banyak pendatang baru ini masih tetap berhubungan deng penduduk daerah hulu sungai. Ada pula.beberapa desa di daerah pan itu yang dihuni oleh penduduk dari pulau-pulau lepas pant Perbedaan asal-usul ini mengakibatkan pula perbedaan bahasa sepanjang pantai utara Irian Jaya. Penduduk pendatang d daerah-daerah tertentu di pedalaman atau dari pulau-pulau seberang, tinggal mengelompok dalam desa-desa tertentu, masin masing membentuk komunitas kecil yang mempunyai bahasan sendiri dan dengan cirinya yang khas, sedangkan ada kecenderung untuk kawin endogami.

Ada beberapa tulisan mengenai penduduk daerah pedalaman (Oosterwal, 1959, 1961, 1963; van der Leeden, 1955, 1956); akan teta mengenai penduduk daerah pantai belum ada tulisan, kecuali bebera laporan (Van den Berg, 1940; van der Leeden, 1953, 1954, 1961; v Dooren, 1962), yang terutama bicara mengenai keadaan ekonomi daerah tersebut.

Penduduk yang saya. teliti ~ada tahun 1963 dan 1964 adalah suku bangsa Bgu atau Bonggo, ° yang mendiami empat desa, yaitu Taronta, Armopa Lama, Armopa dan Trawasi, dengan jumlah penduduk sekitar 480,21 mereka merupakan komunitas bahasa endogam yang tersendiri, yang berbeda secara nyata dari desa-desa tetangganya, dan dalam hal kebudayaan mereka sangat menyerupai penduduk daerah pantai utara lainnya.

Sebuah pos untuk memerintah daerah itu didirikan pada tahun 1918 oleh Pemerintah di Wakde, sebuah pulau lepas pantai, dan pada tahun 1924 dipindahkan ke Sarmi di pantal. Agama Kristen pun dlmasukkan ke sana dari pulau-pulau lepas pantai pada tahun 1911 oleh Utrechtsche Zendingsvereeniging, dan pada tahun 1930 sebagian besar penduduk Bgu secara resmi sudah memeluk agama Kristen, kadang-kadang dengan jalan kekerasan. Sesuai dengan instruksi Pemerintah Belanda semua daerah pemukiman lama di pedalaman yang terdiri dari rumah keluarga besar, yang tersebar berkelompok-kelompok di sana-sini, sebuah rumah sakral untuk kaum pria dan rumah-rumah sakral lainnya untuk komunitas, yang semuanya terletak di kebun-kebun sagu, pada masa itu dipindahkan ke daerah sepanjang pantai pasir. Tempattempat pemukiman mereka yang tradisional diubah menjadi kampung-kampung yang terdiri dari lima sampai enam deretan rapi dari rumah keluarga inti yang kecil dan sebuah gereja. Pada tahun 1935 didirikan sebuah sekolah desa di Armopa, dengan seorang guru agama suku bangsa Ambon.

Sudah sejak sebelum tahun 1911 para pemburu burung dari Indonesia Timur (Buton, Sangir, Seram dan Ambon) sering datang ke pantai utara untuk berburu burung cendrawasih di hutan-hutan di daerah pedalaman. Sesudah tahun 1920 orang-orang Cina mulai membuka kedai di beberapa desa daerah pantai. Sejak keluar larangan berburu burung pada tahun 1928, para pemburu banyak yang menetap di desa orang-orang setempat, kawin dengan wanita-wanita setempat dan berganti mata pencahariannya, misalnya berburu buaya. Beberapa di antara mereka, atau keturunan mereka, masih tinggal di komunitas Bgu. Orang-orang dari Indonesia Timur ini, dan juga orang-orang Cina dan para guru agama, membawa serta bahasa Indonesia logat timur ke daerah pantai utara Irian jays; akibatnya adalah bahwa banyak penduduk desa itu dapat berbahasa Indonesia selain bahasa daer; mereka sendiri. Anak-anak Bgu mass kini berdwibahasa.

Mata pencaharian pokok orang Bgu, seperti halnya pendud pantai utara lainnya, adalah meramu sagu. Tepung sago di perol dengan menumbuk serat-serat inti batang sagu yang sudah diteba dan dibelah memanjang. Tepung sagu dibuat bubur, roti atau k yang dimakan bergantian sebagai makanan pokok dengan ikan at makanan laut lainnya, daging dan sayur-sayuran sebagai lau pauknya. Mata pencaharian tamabahan mereka adalah mencari ika' berburu (terutama babi hutan, tetapi juga burung dan hew kecil-kecil lainnya) dan sedikit berkebun.

Sesudah tahun 1928 Pemerintah Belanda mencoba memperkenalk produksi kopra di daerah pantai utara. Para pengusaha perkebun berkebangsaan jerman diberi izin menyewa tanah di pulau-pulau lep pantai pada tahun 1922, dan kemudian juga di beberapa daer sepanjang pantai. Pemerintah Belanda menganjurkan atau memak penduduk menanam pohon kelapa di banyak tempat. Nam kebanyakan pohon kelapa itu rusak selama Perang Duma II, keti sebagian besar penduduk mengungsi dari daerah pantai unt menghindari tentara jepang dan menyelamatkan diri dari pembom' tentara Sekutu; mereka kemudian bermukim, seperti jaman d sebelum tahun 1920, di daerah pedalaman sekitar sepuluh sampai dua puluh kilometer jauhnya di daerah yang berawa-rawa dalam but rimba. Sesudah perang, penduduk kembali ke pantai dan menana kelapa, sedangkan hasilnya mereka jual kepada pedagang peranta bangsa Cina. Namun situasi ekonomi Indonesia belakangan mengakibatkan hambatan yang cukup senus bagi perkembang industri kopra rakyat secara besar-besaran di daerah tersebut.

Organisasi sosial Bgu mempunyai beberapa ciri seperti: pentingn kedudukan keluarga inti, adanya secara kadang-kala keluarga lu utrolokal,' tidak adanya kelompok keluarga kindred dan tidak adan kelompok-kelompok kerabat unilineal.23 Adat pantang kawin ya tidak ketat melarang hubungan antara saudara sepupu sejauh dua derajat dari pihak ibu maupun ayah, baik silang maupun sejajar.2a

perkawinan dilaksanakan dengan menyerahkan mas kawin atau juga dengan tukar-menukar adik perempuan langsung.25 Meskipun ada poligini, namun bentuk perkawinan yang paling lazim adalah perkawinan monogami. Meskipun Para informan mengatakan bahwa masyarakat mereka juga kenal adat sororat dan poligini sororat, namun dalam kenyataan tidak ada kasus perkawinan seperti itu dalam data genealogi yang saya kumpulkan. Sebaliknya ada beberapa kasus adat perkawinan levirat. Pola menetap sesudah nikah adalah utrolokal, meskipun ada juga beberapa kasus menetap secara avunkulokal.

Hanya sedikit sekali konsep dalam sistem keagamaan orang Bgu dan sedikit sekali kegiatan dalam sistem ritual mereka. Hanya ada beberapa orang berumur di atas lima puluhan yang masih hidup, dan hanya mereka itulah yang mempunyai pengetahuan luas mengenai mitologi kuno yang mereka pelihara dengan sangat rahasia, bukan hanya terhadap saya sebagai orang luar yang asing, melainkan juga terhadap generasi muda, yang bukan hanya tidak tahu namun juga tidak mau tahu mengenai unsur agama kuno itu, sedangkan pengetahuan mereka mengenai agama Kristen biasanya sangat dangkal. Mereka hanya hafal dua-tiga lagu yang mereka nyanyikan tiap hari minggu di gereja. Pengetahuan mengenai kisah-kisah Alkitab boleh dikatakan hamper tidak ada sama sekali. Keyakinan akan roh yang baik dan yang jahat memang ada, tetapi makhluk-makhluk halus seperti itu memainkan peranan yang sangat minim dalam hidup orang Bgu sehari-hari yang bersifat sangat rasional. Upacara-upacara berkenaan dengan lingkaran hidup individu sang-at sederhana dan selalu sama saja, demikian pula upacara-upacara untuk memungut anak dan upacara perkawinan yang

merupakan dua upacara paling penting. Sebaliknya; adat-istiadat pantangan banyak sekali. Upacara-upacara inisiasi lama dalam balai sakral yang letaknya terpisah dari rumah-rumah lainnya sudah hilang sesudah mereka memindahkan pemukiman mereka ke daerah pantai, sementara upacara-upacara penguburan dan kematian yang secara keseluruhan juga sangat sederhana, menuntut pelaksanaan sederet: peraturan mengenai tabu dan masa pengasingan atas keluarga orang yang meninggal itu.

Kurangnya intensifikasi ritual dan keagamaan dalam kehidupan itu mengakibatkan suasana apatis dalam kehidupan sosial prang Bg Solidaritas sosial hamper tidak ada; masing-masing indivi melakukan apa saja sesukanya, dan hidup komunitas dan kegiat kolektif sukar sekah diorganisasi.

Penelitian di daerah rawa-rawa Irian jaya berarti bekerja di meda yang sangat sulit, penuh kesukaran-kesukaran fisik dan persoala persoalan logistik. Saya harus membeli beras dan makanan kaleng kedai Cina yang terletak di sebuah desa sejauh dua hari jalan kaki dad desa Armopa. Karena saya tidak mau setiap kali kehilangan empat h jika saya kebetulan kehabisan bahan makanan, akhirnya saya terpak mulai belajar makan sagu, daging buaya, dan jenis jenis makan setempat lainnya yang dapat dibeli atau ditukar (dengan tembakat~ secara hngsung dari penduduk Armopa. Saya juga harus membiasa~ kan dire dengan kenyataan bahwa dokter yang terdekat tinggal sejau lima setengah hari jalan kaki dari Armopa, di kota jayapura.26

a

Rencana saya semula adalah untuk meneliti industri kopra rakyat a daerah pantai utara Irian Jaya; namun ketika saya tiba di sana pa tahun 1963 tidak banyak pohon kelapa yang masih produktif. Hal i sebagian besar disebabkan oleh mundurnya sarana-sarana angkut dan pemasarannya, yang khususnya berlangsung sejak tahap aw pengambilalihan dare pihak Belanda oleh Perserikatan Bangsa-bangs dan pemerintahan Indonesia (Koentjaraningrat, 1969). Oleh karena it saya mengalihkan perhatian kepada masalah yang sering dibicarakan yaitu°hubungan kekerabatan yang "renggang" di Irian," dan denga demikian mencoba mengumpulkan data untuk membuat deskrip umum mengenai kebudayaan suku bangsa Bgu, dengan tujuan untu mengisi tempat yang kosong dalam peta etnografi daerah pantai sitar Irian Jaya.

Bagi saya, meneliti kebudayaan orang Bgu berarti meneliti sebua kebudayaan yang sama sekali asing, dengan bahasa setempatnya yan tidak berhasil saya pahami. Namun sebagian besar dari prang Bgu, kecuali beberapa prang yang berumur di atas 60, seperti apa yang telah saya sebut di atas, berdwibahasa.

Sebagian besar prang dewasa Bgu mempunyai hubungan dengan dunia luar dan sudah mengalami Perang Dunia II, pendudukan Jepang dan masa pemboman tentara Sekutu. Meskipun sebagai peramu sagu hidup mereka bisa dikatakan primitif, namun semua prang Bgu yang dewasa pernah pergi ke kota Jayapura, sekurang-kurangnya satu kale. Itulah sebabnya saya tidak mengalami kesulitan apa pun dalam hal komunikasi, karma saya dapat bicara dalam bahasa Indonesia dengan semua informan dan responden saya, dan sering menggunakan kejadian-kejadian di kota sebagai titik referensi. Dengan beberapa informan saya bahkan dapat berbicara dalam bahasa Belanda. Karma tujuan penelitian lapangan saya hanya sekedar untuk mengumpulkan data etnografi, khususnya mengenai sistem kekerabatan, maka metode penelitian saya yang terutama ialah pengamatan terlibat dan wawancara genealogi; untuk tujuan itu umumnya saya memilih informan yang belum terlalu tua. Wawancara berlangsung lancar, kecuali pada saat-saat di mana mereka harus menyebutkan istilah kekerabatan untuk ibu mertua: wawancara sekonyong-konyong macet, dan baru kemudian saya mengerti bahwa adalah pantang bagi prang Bgu untuk menyebut istilah ibu mertua itu. Walaupun umumnya wawancara berjalan cukup lancar, namun toh saya selalu merasakan suasana kecurigaan yang pada hemat saya disebabkan karma saya dianggap prang asing yang berasal dare Negara penjajah lainnya, sama saja dengan Belanda atau Jepang. Selama penelitian lapangan saya sermg merasa, bahwa saya seakan-akan tidak akan mampu mengatasi hambatan itu; kecuali satu kale, yaitu dalam percakapan saya dengan seorang tua yang sudah berumur lebih dare 70 tahun, sakit-sakitan dan sudah lumpuh, namanya Dolfinus Maban. Pada beberapa kesempatan saya sudah mencoba mewawancara dia, tetapi tidak pernah berhasil mengembangkan hubungan. Salah satu sebabnya ialah karma saya tidak bisa berbicara dengan bahasa Bgu, sedangkan bahasa Indonesianya sangat tidak mencukupi. Namun pada suatu hari, tanpa saya maksudkan sebelumnya saya menyentuh persoalan mengenai ritus inisiasi kuno di balai sakral kuno untuk kaum pria. Reaksi orang tua itu segera nampak berubah. la menjadi amat bersemangat, dan langsung bicara tentang upacara inisiasi ftrau yang pernah dialaminya selagi muda, lebih dari setengah abad berselang.

Menurut Dolfinus Maban, frau itu dijalankan di sebuah rumah sakral untuk kaum pria yang ada kaitannya dengan perang dan' mengayau; wanita dan anak-anak dilarang keras mendekati rumah! tersebut. Dolfinus ingat, bahwa pada suatu hari is diculik dengan' kekerasan oleh beberapa pria dari klen perang. Dalam keadaan sangat ketakutan is sebagai anak kecil dibawa ke sebuah rumah yang terletak di tempat yang jauh terpencil, sejauh sepuluh hari naik sampan di hulu sungai. Di rumah itu terdapatlah anak-anak laki-laki lainnya sekampung yang hilang beberapa hari sebelumnya. Mereka serriua tinggal di rumah itu selama beberapa bulan. Selama itu mereka diajar' melaksanakan berbagai macam upacara pemujaan roh-roh nenekmoyang dari klen perang; mereka diajar berbagai macam teknik untuk menggunakan bermacam-macam senjata; mereka dilatih menahan rasa sakit; mereka juga mendapat bimbingan dalam soal seks. Selama tinggal di rumah keramat itu Dolfinus ingat bahwa ada seorang yang kurang begitu kasar terhadapnya, tidak seperti orang-orang lainnya; orang itu bahkan memelihara dia dan mengurus segala keperluannya. Orang itu tidak lain ialah wausu atau paman Dolfinus, yaitu saudara~ pria ibunya. Dolfinus menjalin hubungan persaudaraan yang erat dengan beberapa rekan sebayanya itu. Dengan sedih is mengatakan bahwa sahabatnya yang terakhir baru saja meninggal belum lama ini, dan dia satu-satunya yang masih hidup dari kelompok tersebut. Beberapa bulan`sesudah saya meninggalkan desa Bgu pada tahun 1964 saya dengar kabar bahwa Dolfinus pun telah meninggal dunia.

4. Nelayan Teluk IJsselmeer, Negeri Belanda

Dari tahun 1966 sampai 1967, saya mengajar antropologi di Universitas Utrecht, Negeri Belanda, dan selama liburan musim pangs' saya meneliti dug komunitas nelayan, yaitu Spakenburg dan Urk di' Teluk IJsselmeer. Dua mahasiswa dari Universitas Utrecht membantu' saya di lapangan." Gangguan-gangguan fisik seperti yang saya alarm' dug tahun sebelumnya di rawa-rawa Irian Jaya tidak Vya jumpai di' sini. Apa yang saya alami di Urk justru segala macam kenyamanan fisik yang seperd lazimnya ada di negara maju. Tempat tinggal saya berupa sebuah rumah sewaan yang nyaman, lengkap dengan perabotannya; saya mempunyai sebuah mobil yang bisa diparkir tepat di muka rumah; ada supermarket di seberang jalan di mana saya bisa membeli semua keperluan saya; dokter tinggal tidak jauh dari situ, dan koran setempat memberitakan semua kejadian hari itu dan memberi data ke mana saja perginya kapal-kapal dari armada nelayan Urk.

Di Teluk IJsselmeer, yang dulu disebut juga Zuiderzee, merupakan tempat yang selama berabad-abad selalu didatangi kawanan-kawanan ikan haring dari Laut Eropa Utara, khususnya di musim bertelur. Selain itu juga ikan anchovie, eel, founder, smelt, dan udang banyak ditangkap di daerah itu dalam jumlah yang tak terbilang banyaknya. Namun awal abad ke-19 terjadi perubahan; juga karena berkembangnya pelabuhan-pelabuhan nelayan di pantai barat Negeri Belanda, industri perikanan di Zuiderzee menurun. Menurut para ahli hal itu juga disebabkan karena titik jenuh sudah tercapai, dan muncullah gagasan untuk menutup teluk itu dengan bendungan raksasa mengeringkan danau yang timbul akibat itu, sehingga berubah menjadi ribuan hektar tanah pertanian yang subur (Hoek, 1890). Pada tahun 1892 pemerintah Belanda menunjuk komisi untuk meneliti apakah dari segi teknik, ekonomi dan sosial proyek sebesar itu cukup visibel (Hoek, 1894; Ypma, 1962: hal. 166-175).

Menyusul kemudian adalah masa kebangkitan ekonomi yang berlangsung sebentar, dari tahun 1912 sampai Perang Dunia I yang kemudian disusul dengan kemunduran industri perikanan Zuiderzee secara terus-menerus, sementara pelabuhan-pelabuhan nelayan di sepanjang pantai barat Negeri Belanda terus berkembang. Rencana untuk menutup Zuiderzee dengan bendungan raksasa (afsluitdyk) menjadi kenyataan, dan pekerjaan dimulai tahun 1932. Pada masa-masa berikutnya berbagai bagian danau itu dikeringkan menjadi tanah pertanian secara berturut-turut: mula-mula bagian timur laut, disusul oleh bagian selatan, sementara pekerjaan untuk mengubah bagian barat danau itu masih terus berlangsung.

Dengan lenyapnya Zuiderzee, kedua puluh tiga desa nelayan di pantai Zuiderzee itu menjadi kota-kota kecil yang tak berarti. Penduduknya yang selama berabad-abad hidup dari penangkapan ikan tradisional dengan menggunakan perahu layar kayu (kotter) yang kecil dalam batas-batas perairan teluk itu, pindah ke pelabuhan-pelabuhan nelayan di pantai barat atau berganti pekerjaan, menjadi buruh di pusat-pusat industri modern yang tidak jauh dari situ. Di beberapa desa penduduknya masih tetap mempertahankan unsur-unsur lahiriah dari kebudayaan setempat yang tradisional untuk menarik turis. Spakenburgh, misalnya, masih mempertahankan bagian dari pelabuhan nelayan yang dulu terletak di•sebuah terusan yang lebar. Saya tinggal di desa ini selama empat minggu untuk meneliti kehidupan penduduknya. ,

Saya juga meneliti s'ebuah desa lainnya, yaitu Urk, yang selama berabad-abad merupakan sebuah desa nelayan.3° Semula desa itu terletak pada sebuah pulau di tengah teluk, namun dengan selesainya Polder I di bagian timur laut teluk itu, maka pulau itu pun lenyap. Berbeda dengan penduduk dari desa-desa nelayan lainnya, penduduk Urk tidak meninggalkan desa mereka atau berganti pekerjaan. Ditutupnya teluk itu sama sekali tidak mengakibatkan mundurnya perikanan di Urk; sebaliknya, dalam waktu kurang dari 25 tahun Urk berkembang menjadi pelabuhan nelayan yang luar biasa makmurnya, merupakan pelabuhan nelayan yang kedua di Negeri Belanda sesudah IJmuiden di pantai barat negeri itu. Pada tahun 1967 Urk memiliki armada sebesar 171 kapal baja kecil (kotter), yang diperlengkapi dengan peralatan serba .modern dan yang dijalankan oleh enam sampai delapan awak kapal. Pagi-pagi buta setiap hari Senin kapal-kapal itu berlayar melalui terusan di teluk itu, lewat pintu-pirtu bendungan raksasa di tempat yang bernama Kornwerdenzand, menuju laut bebas, ke daerah penangkapan ikan yang kaya di sepanjang pantai Eropa Utara, sampai sejauh Helgoland dan Esbjerg di Denmark.

Pada tahun 1967 penduduk Urk berjumlah 7187 jiwa. Dari 3718 pria, 652 orang atau 18% secara langsung bekerja di bidang perikanan, sementara yang lainnya bergerak di bidang industri pelayanan, dalam industri memproses ikan, dalam pemasaran dan angkutan ikan, dalam pelayanan sebagai pegawai pamong praja atau pekerjaan-pekerjaan profesional.

Namun ciri-ciri modern yang ekstrem dari ekonomi Ur menunjukkan perbedaan yang sangat meriyolok dibandingkan dengar beberapa ciri pra-modern dalam kehidupan sosial komunitas dart dalam sikap mental serta pandangan hidup penduduk Urk. Komunita;s diatur menurut hubungan-hubungan kekerabatan berdasark n gotong-royong yang intensif, dan_ pemilihan tenaga untuk posisi-posisi, khususnya di sektor perikanan, untuk sebagian bear didasarkan atas hubungan keluarga inti, keluarga-luas utrolokal atau hubungan kekerabatan lainnya. Kondisi kesehatan komunitas baru membaik sejak awal tahun 1960-an; bantuan oleh bidan dalam persalinan baru dikenal umum lima - enam tahun berselang, dan pada tahun 1967 saya masih menemukan bahwa banyak penduduk Urk masih enggan mendapat pelayanan dokter pada umumnya. Hal yang terutama menyolok adalah bahwa mereka memandang rendah terhadap pendidikan formal. Memang sistem pendidikan di Negeri Belanda yang berdasarkan wajib sekolah sampai tamat SD, memaksa para orang tua mengirimkan anaknya ke sekolah, namun sebagian besar masih menganggap hal ini sebagai beban. Hanya sekitar 7% dari anak-anak di Urk melanjutkan pendidikan mereka di sekolah lanjutan pada tahun 1968. Di antara ke-171 kapal modern yang merupakan armada nelayan Urk, hanya dua saja yang memiliki mualim berijazah.

Ciri-ciri tradisional masyarakat dapat diterangkan dengan mudah dari segi kortsep-konsep sosio-fungsional sedangkan sikap mental dan pandangan hidup yang pra-modern rupanya harus dikembalikan kepada pengaruh agama puritan yang dominan. Sudah terkenal umum bahwa agama Kalvinisme Belanda merupakan agama puritan; akan tetapi ada banyak aliran yang menganut berbagai sistem keyakinan dalam tubuh Gereja Kalvinis Belanda." Salah satu cabang yang-paling ortodoks dari sayap ortodoks dari Gereja Kalvinis Belanda yang puritan, yang disebut Oud Gereformeerde Kerk, mendominasi komunitas Urk. Saya sangat tertarik untuk meneliti justru aspek dari take-off ekonomi Urk yang sangat spektakuler ini berdasarkan alasan praktis, ialah bahwa Indonesia, mulai tahun 1966 telah mencapai suatu tahap dalam perkembangannya yang berubah dari orientasi ke pembangunan politik solidaritas nasional serta politik solidaritas anti-kolonialisme ke arah pembangunan ekonomi.

Di Urk tentu saja saya menjadi orang asing sama sekali meskipun sekaligus juga orang asing yang sangat dianggap aneh oleh penduduk dan yang karena itu banyak orang suka bertemu dengan saya. Oleh karena itu para keluarga di Urk, ataupun orang lain, jarang menolak permintaan saya untuk berwawancara. Untung bahwa bahasa Belanda tidak merupakan kesukaran bagi saya, sebab saya sudah mulai belajar bicara dan berpikir dalam bahasa itu bahkan sebelum saya belajar bicara bahasa Indonesia. 32 Meskipun para nelayan Urk mempunyai cara hidup yang berbeda dengan cara hidup orang Belanda pejabat pemerintah penjajahan di Indonesia, saya perhatikan bahwa dengan mudah saya bisa mengenal dan memahami beberapa nilai budaya mereka dan azas-azas cara berpikir mereka, karena saya sejak masa kecil saya juga sudah mengalami enkulturasi dalam nilai-nilai tersebut.

Sebagai alat penelitian untuk mengukur orientasi nilai budaya s;jya gunakan versi yang sudah disesuaikan dari kuestiongr Kluckhohn untuk meneliti vanasi-variasi dalam orientasi nilai budaya (Kluckhohn, Strodtbeck, 1961; Robinson, Shaver, 1970: hal. 476-478). Tentu saja saya juga mengumpulkan data mengenai masalah nilai budaya dengan metode antropologi yang biasa yaitu wawancara genealogi, dan dengan mengumpulkan data individu dari beberapa nelayan yang berhasil dalam hidup mereka. Tempat yang biasa saya datangi untuk memperolehinformasi ialah sebuah bangku di pinggir pantai di mana para nelayan tua yang sudah pensiun biasa berkumpul pada jam jam tertentu pagi dan sore hari. Oude mannetjes bank ini ternyata merupakan tempat yang bagus dan sangat menyenangkan untuk mendengarkan bualan orang7orang tua itu; tak henti-hentinya mereka mengulangi kisah yang itu-itu juga mengenai masa jays mereka di laut, dengan cara yang penuh humor. Meskipun banyak hal dilebih-lebihkan, namun temyata mendengarkan obrolan mereka itu penting sekali: bukan hanya untuk bisa mengenal suasana umum di daerah itu, melainkan juga orientasi keagamaan dan cara hidup para nelayan tersebut. Memang dialek Urk sangat berbeda dengan bahasa Belanda yang resmi, tetapi dengan mendengarkan secara seksama, para asisten saya dan saya sendiri sering kali berhasil menangkap arti umum dari bahan pembicaraan mereka.

Sejak awal penelitian lapangan kami telah berhasil mengembangkan hubungan yang sangat balk dengan para responden dan informan kami. Khususnya di Urk saya ingat bahwa kunjungan-kunjungan kami untuk wawancara sering merupakan pertemuan yang amat menyenangkan dengan orang-orang desa karena mereka sangat ramah dan kooperatif. Dibandingkan dengan pengalaman saya di jawa Tengah dan Irian, penelitian lapangan di Urk ini paling menyenangkan. Seperti apa yang sudah saya katakan di atas, dari mula-mula penduduk Urk dan Spakenburg berhasrat ingin melihat keanehan seorang profesor bangsa Indonesia dan dua mahasiswa Belanda dari suatu universitas, dan karena itu mereka tidak pernah menolak permintaan untuk wawancara.33 Selanjutnya mereka nampak senang bicara mengenai pekerjaan mereka, keluarga mereka, prestasi mereka, dan juga kegiatan-kegiatan keagamaan mereka.

Data yang berhasil kami kumpulkan dengan metode-metode yang telah kami sebutkan tadi memberikan pengertian kepada saya sekurang-kurangnya ada empat unsur dalam sistem sosial-budaya Urk yang rupanya mempengaruhi keberhasilannya dalam sektor ekonomi, yaitu (1) orientasi keagamaan yang kuat; (2) solidaritas keke`fabatan yang kuat; (3) adanya beberapa keluarga yang anggotanya banyak mempunyai semangat pembaharuan; dan akhirnya (4) orientasi nilai budaya yang mementingkan azas gotong-royong.

Orientasi keagamaan yang kuat dari penduduk Urk serta ketergantungan pada agama dalam banyak, usaha mereka mungkin disebabkan oleh bahaya serta risiko besar yang berkaitan dengan pekerjaan mereka sebagai nelayan di laut terbuka.34 Tentu saja ada juga faktor historis yang menyebabkan adanya orientasi keagamaan yang kuat dari penduduk komunitas Zuiderzee kuno seperti Urk.

Solidaritas kekerabatan yang kuat di kalangan penduduk Urk tidak hanya nampak dalam hidup sosial-budaya mereka saja, melainkan juga dalam usaha ekonomi mereka. Anak kapal terdiri dari orang-orang yang masih bersaudara dekat: bengkel-bengkel reparasi, bengkel pembuat jala, galangan kapal dan bahkan juga pabrik pengalengan ikan dikelola dan diorganisasi berdasarkan kelompok-kelompok kekerabatan. Hal ini mengakibatkan rasa bertanggung jawab yang kuat dan perhatian terhadap keberhasilan usaha mereka.

Pembaharuan-pembaharuan yang besar artinya bagi perkembangan ekonomi Urk seperti pemakaian tipe-tipe barn dari kapal-kapal baja (kotter), digunakannya jala model barer, pemasangan peralatan radar untuk pertama kalinya pada kotter untuk mendeteksi ikan, dan sebagainya, semua An dilakukan oleh individu-individu dari kalangan beberapa keluarga tertentu. Adanya keluarga-keluarga yang anggotanya banyak mempunyai semangat inovasi atau pembaharuan ini, tentu saja merupakan faktor historis. Akan tetapi kenyataan bahwa keluarga-keluarga semacam itu dapat berkembang subur menunjukkan bahwa ada sikap sosial-budaya yang mendorong perkembangan individu-individu semacam An. Pengamatan secara lebih mendalam atas keluarga-keluarga tersebut menunjukkan tetap dipertahankannya disiplin yang kuat serta kebanggaan besar akan prestasi warga keluarga-inti, khususnya di bidang perikanan dan pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengannya.3'

Orientasi ke arah aktivitas kolektif dan gotong-royong dan kurang adanya orientasi individu, yang mendominasi sistem nilai budaya Urk tampak dari jawaban jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai hubungan antar manusia dalam kuestioner Kluckhohn.

Salah satu pranata dalam industri perikanan Urk, di mana faktor yang terakhir itu, tetapi juga faktor nomor dua, yaitu solidaritas kekerabatarl yang kuat, merupakan unsur yang paling penting, adalah maatschapscontract dalam pengelolaan kapal ikan. Dalam Code Civil Belanda (art. 1655) kata itu diartikan sebagai persetujuan antara dua orang atau lebih untuk memulai suatu usaha kolektif dengan tujuan membagi keuntungannya. Di Urk kapal nelayan dikelola oleh seorang nakoda-pemilik yang mengambil awak kapal sebanyak enam sampai delapan orang, dengan membuat maatschapscontract dengan anggotaanggota kerabatnya seperti misalnya saudara sekandungnya, anaknya, menantunya atau kemenakannya. Masing-masing mendapat bagian dari hasil bersih yang kurang-lebih sama besarnya, dan awak kapal sejumlah delapan orang menerima kurang-lebih 6% dari hasil kotor sesudah dikurangi 50% untuk investasi, untuk pemeliharaan kapal dan peralatan perikanan, dan untuk biaya-biaya operasi seperti bahan bakar, minyak pelumas mesin kapal, es, persediaan makanan, uang pelabuhan dan uang pintu bendungan serta biaya-biaya untuk pembongkaran muatan. Cara pengaturan pembagian keuntungan semacam An menciptakan rasa tanggung jawab yang dibagi bersama pada masing-masing anggota awak kapal, hal mana juga mengembangkan kemampuan kerja dan daya guna mereka.

Kontrak maatschap dalam bidang perikanan di Negeri Belanda merupakan sebuah pranata yang sudah tua, dan dewasa ini lebih dari 65% armada nelayan Belanda masih beroperasi atas dasar kontrak tersebut, sedangkan yang lain-lainnya telah mengambil alih sistem CAO yang lebih modern (Collectieve Arbeids Overeenkomst). Pelabuhan nelayan yang didominasi oleh pengelolaan dengan sistem CAO itu adalah misalnya Katwijk dan IJmuiden. Nelayan-nelayan Ur,k 100% berlayar berdasarkan kontrak maatschap. Menurut sistem CAO awak kapal hanyalah buruh dari pemilik kapal yang tidak berlayar sendiri. Mereka menerima gaji tetap dan tunduk kepada serangkaian undang-undang jaminan sosial. Dengan sendirinya mereka kurang mempunyai rasa ikut bertanggung jawab atas pekerjaannya. Saya tidak bermaksud memberi laporan mengenai hasil kerja para nelayan yang bekerja atas dasar sistem CAO karena saya tidak mengadakan penelitian di kalangan para nelayan CAO; namun saya memang memperoleh informasi mengenai kurang efektifnya cara kerja mereka, terutama kalau dibandingkan dengan nelayan-nelayan maatschap dari Urk. Observasi terlibat yang kami jalankan atas sebuah kapal nelayan Urk yang berlayar selama seminggu, menunjukkan adanya solidaritas yang intensif dan semangat sama rasa sama rata di antara awak kapalnya; sikap yang sangat berhati-hati terhadap kapal dan peralatan, penangkap ikan serta efektivitas yang sangat tinggi, dengan jam kerja maksimum 19 jam sehari untuk masing-masing awak kapal. Mereka bergantian beristirahat, selama masa-mass yang berlangsung pendek antara membuang dan'mengangkat jala, kira-kira selama tiga perempat jam, semua awak kapal kecuali juru mudi membantu menguiiti, membersihkan dan menyimpan ikan. Kegiatan bekerja yang begitu intensif itu mudah orang dapat mengerti. Imbalan yang langsung dapat dilihat dan dirasakan untuk setiap hasil kerja yang disumbangkan oleh setiap nelayan yang bekerja atas dasar maatschap merupakan perangsang yang paling besar. Dengan sendirinya azas maatschap itu nampaknya mempunyai akibat yang lebih menguntungkan di bidang perikanan, dan mungkin jauh lebih menguntungkan daripada bagi hasil di bidang pertanian, karena jarak waktu antara saat si petani menyumbangkan tenaganya dan saat dapat dirasakannya hasil kerja tersebut terlalu lama.

1 komentar:

  1. Selamat siang, Pak. Saya Shasa, mahasiswi dari Indonesia, kebetulan dalam waktu dekat ini saya ada rencana untuk penelitian di Urk. Apakah saya dapat menghubungi anda untuk mengetahui sedikit banyak kondisi disana? Terima kasih sebelumnya

    BalasHapus