Selasa, 13 Januari 2009

Mengumpulkan Folklore Bali Aga di Trunyan

1. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud penelitian di lapangan yang saya lakukan di desa Trunyan di tepi danau batur kecamatan kintamani, kabupaten bangle, Bali Selatan adalah untuk mengumpulkan folklore orang Bali Aga. Mereka itu adalah sebagian dari orang Bali, yang kurang mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa Hindu dari Majapahit dan Agama Hindu Dharma. Folklore adalah bagian dari kebudayaan yang tersebar dan diwariskan turun-temurun di antara kolektifa sosial apa pun saja secara tradisional dalam versi yang berbeda-beda, baik dalam wujud lisan maupun contoh yang disertai dengan perbuatan, serta alat-alat pengingat. Secara konkret folklore dapat digolongkan menjadi, folklore lisan yakni cerita rakyat, teka-teki, pribahasa dan sebagainya, kemudian folklore setengah lisan yakni ada-istiadat, kepercayaan, permainan dan hiburan rakyat, upacara, pesta, drama rakyat dan sebagainya, bukan lisan yakni material seperti seni bangunan rakyat, kerajinan tangan rakyat dan sebagainya dan bukan material seperti bahasa isyarat dan music.

2. Hipotesa Kerja

Alasan saya untuk mepergunakan folklore orang Bali Aga untuk mempelajari struktur kepribadian dasar mereka, adalah berdasarkan pendapat antara lain dari A. Kardiner yang beranggapan bahwa kelompok pranata yang tergolong pertama itu, harus mempunyai tertentu terhadap struktur kepribadian dasar dari para individu yang langsung terkena pengaruh kelompok pranata tersebut.

Pengaruh yang bersifat akumulatif dan efektif ini akan memaksa para individu tersebut untuk menyesuaikan diri. Karena para individu dalam suatu masyarakat biasanya mengalami pengaruh pranata pertama yang identik, maka alat penyesuaian yang dikembangkan biasanya mirip satu sama lain. Berlainan dengan Freud, kadiner berpedapat bahwa pengaruh pranat pertama ini lebih besar daripada pengaruh biologis. Demikian juga halnya dengan pranata kedua terbentuknya pranata itu tidak ditentukan oleh kecenderungan biologis, tetapi lebih banyak oleh kondisi actual. Hal itu berarti bahwa terjadinya pranat kedua ditentukan oleh sifat struktur kepribadian dasar, dan sebaliknya struktur kepribadian dasar ini ditentukan oleh pranata pertama.

3. Persiapan Penelitian Seacara Administratif

Sebelum melakukan penelitian di tempat telah timbul keraguan-keraguan pada diri saya apakah perlu untuk mendapatkan surat rekomenasi penelitian dari lembaga ilmu pengetahuan (LIPI) menurut para pejabat dari lembaga tersebut orang Indonesia tak diwajibkan memiliki surat rekomendasi seperti. Hal itu sebenernya diwajibkan hanya untuk orang asing. Saya akhirnya meminta dibuatkan surat itu juga mengingat suasana politik yang pada waktu itu kurang mantap, akibat baru terjkadi peristiwa malaria (Malapetaka Tanggal Lima Belas Januari), agar di pedalaman Bali nanti saya tidak mendapat kesulitan dari pihak orang-orang yang kurang mengerti akan tujuan penelitian. Di samping itu mengingat akan sopan-santun bangsa kita, seorang peneliti sebagai seorang tamu yang hendak memasuki wilayah orang, sebaiknya juga memberitahukan maksdnya dengan jelas kepada tuan rumah kita.adapun surat rekomendasi dari LIPI merupakan alat pengenal diri yang baik sekali.

4. Penyesuaian Fisik dan Mental di Lapangan

Letak desa Trunyan adalah di dalam satu kepundan gunung berapi yang telah meletus beberapa ribu tahun yang lalu, dan kemudian sebagian dari lubang kepundannya terisi dengan air sehingga kini menjadi danau batur. Di sebelah barat itu kemudian telah tumbuh lagi anak gunung setinggi 1717 meter yang kini terkenal dengan nama Gunung Batur. Dan di seblah timur gunung ini di salah satu bagian pantai Danau Batur yang tidak curam ke atas melainkan telah landai mendatar akibat terkikis oleh kekuatan alam, terletak desa obyek penelitian saya. Untuk mencapai desa tersebut dari Denpasar kita harus naik taksi, bus atau kendaraan umum lainnya. Harga menyewa taksi adalah sekitar Rp 6000,- pada tahun 1974.

Pada waktu saya berangkat ke Trunyan saya dikenkan Rp. 8.000,- oleh pemilik taksi kawan pembantu saya. Naik bus lebih murah, hanya Rp 125,-. Tetapi sudah tentu dengan kendaraan umum yang murah ini perjalanan kurang menyenangkan, penumpang penuh sesak sampai ada yang harus bergelantungan pada pintu. Bus jalan amat lambat karena jalan terus menanjak dan setibanya di suatu desa di Kecamatan Kintamani di bibr bagian selatan dari Kabupaten Batur yang bernama Penelokan, penumpang harus turun. Berbeda dengan udara panas ddi Denpasar, udara di Penelokan sangat sejuk. Walaupun dari penelokan sudah ada jalan aspal untuk turun ke dasar kepundan tersebut, tetapi sampai saya meninggalkan Trunyan, jalan itu belum juga dibuka secara resmi sehinga kebanyakan orang harus turun dengan berjalan kki atau naik kuda melalui jalan setapak sepanjang dua setengah kilometer. Menunggang kuda yang harus disewa dengan biaya Rp 100,- tak menyenangkan, karena kudanya kecil, sadelnya karung dan tali rengekan si tukang kuda yang terus-menerus minta tambahan sewa kuda saja, walaupun sebelumnya ia telah setuju dengan harga sebelumnya.

5. Penyesuasian Sosial di Lapangan

Menentukan makanan saya sehari-hari, saya serahkan kepada nyonya rumah saya, tetapi lama-kelamaan menu yang disugukan kepada saya sangat membosankan juga. Setiap hari siang-malam nasi dengan lauk-pauk yang terdiri dari ikan mujair goreng dan kadang-kadang ditambah semangkuk sayur daun labu kuning yang dimasak dengan santent kelapa dn dicampur dengan kepala ikan mujair lagi. Sering kali jika musim kering untuk beberapa hari saya tidak diberi makanan yang terdiri dari sayuran, atau jika gelombang di danau besar sekali saya malah tidak diberi ikan dan sebagai gantinya kacang goreng atau laron goreng (rayap jantan yang bersayap). Bush-buahan jarang sekah disuguhkan, karena pisang dan pepaya pantang ditanam di desa induk. Karena kurang mengenal kesehatan nasi yang disuguhkan kepada saya sering telah basi, dan kadang kala daging sapi yang disuguhkan kepada saya berasal dari sapi yang telah mati dan menjadi bangkai selama dua hari. Semua ini tidak dianggap buruk oleh nyonya rumah saya, karena sudah demikian kebiasaan makan orang Trunyan. Mereka sangat hemat, tak pernah terpikir oleh mereka untuk membuang makanan walaupun makanan tersebut menurut kesehatan sudah tak patut dimakan lagi. Dalam teori saya dapat mengisi kekurangan tersebut dengan makan makanan kaleng, tetapi dalam praktek sukar, karena kurang enak rasanya untuk makan sendiri.di rumah orang, sedangkan mereka memberi spa saja yang mereka punya. Karena di rumah Mian Dinas ini ads kebiasaan untuk hanya memberi saya makan dua kali, dan jaraknya agak berjauhan yaitu jam 09.00 pagi dan jam 18.00, maka pada jam 15.00 perut saya sudah berteriak-teriak karena kelaparan. Mau beli nasi di warung tak berani karena takut menyinggung perasaan tuan dan nyonya rumah saya, maka akhirnya terpaksa saya harus makan biskuit sembunyisembunyi. Sebenarnya nasi yang- diberikan nyonya rumah adalah cukup banyak asalkan saja saya dapat mengisi semuanya sekaligus seperti orang desa, sehingga makanan tersebut dapat dipergunakan oleh tubuh saya setengah penuh sekali makan, namun susahnya perut orang kota tak sebesar orang desa yang sejak kecil telah biasa dijejal dengan makanan tiga-empat kali banyaknya daripada yang dapat masuk ke dalam perut orang kota.

Berhubung letak desa Trunyan agak terpencil dari dunia luar, maka obat-obatan yang ads pada saya harus juga saya bagikan kepada orang desa, terutama anak-anak mereka yang sering terluka akibat tergelincir dari lereng bukit sewaktu sedang menyabit rumput atau main-main, dan karena kekurangan gizi tubuh mereka mudah sekali terkena infeksi. Demikianlah selama di Trunyan saya telah membuka klinik tak resmi untuk mengobati penyakit-penyakit riinan. Dengan melalui klinik ini saya dapat menghubungi orang-orang desa lebih banyak lagi dan di samping itu juga dapat menanam kebiasaan untuk mandi dengan sabun pada anak-anak kecil, yang sebelum saya obati lukanya saya paksa dulu agar mau membersihkan dulu tubuhnya yang penuh dengan daki itu.

Selama di Trunyan saya hanya memberi obat pada orang desa, sedangkan yang lain-lain tidak, juga tidak pernah meminjamkan uang apalagi memberinya. Dalam hal ini kita harus berhati-hati sekali, karma dapat memberi kesan bahwa saya kebanyakan uang, dan menurut pengalaman saya, saya akan dirongrong terus nanti oleh beberapa orang desa dengan jalan meminta pinjam uang atau bends-bends seperti batu baterai dart sebagainya. Sekali meminjamkan barang kita akan sukar memperokhnya kembali.

Suatu hal yang juga berhubungan dengan uang adalah kesukaran untuk menentukan uang makan dan uang indekos saya di Trunyan. Hal ini disebabkan~karena seperti orang Jawa, orang Bali juga sangat rikuh jika harus menentukan harga pada orang yang dikenal atau dihormati, tetapi hal ini bukan berarti bahwa mereka tidak mengharapkan, karma buktinya jika kita memberi jumlah yang terlalu di bawah spa yang mereka harapkan pelayanan mereka segera juga akan menurun bahkan kita tidak diladeni lagi di kemudian hari. Oleh karma itu untuk menentukan hal itu saya harus mengadakan semacam penelitian kecil untuk mengetahui harga-harga makanan di desa tersebut, sehingga saya tidak membayar terlalu sedikit sehingga menjadi beban tuan rumah, tetapi juga tidak terlalu banyak, sehingga jika diketahui oleh orang desa lainnya, tuan rumah akan dicemburui. Setiap mau memberi uang indekos pada akhir bulan, saya harus melalui upacara memaksa-maksa dia untuk menerima uang itu, pada waktu tidak, ads orang desa lain yang melihatnya.

Selama'penelitian di tempat di desa Trunyan saya telah menemui masalah mencari asisten, yang dapat membantu saya dalam hal mengumpulkan bahan folklore serta mengisi kuestioner dan baterai tes-tes psikologi. Sebelum berangkat ke Bali saya telah menulis pada seorang kepala kantor suatu Majelis Agama, untuk mencarikan saya dua orang asisten. Syarat yang saya ajukan adalah seorang yang pendidikannya paling rendah SMP, berwatak sabar, dan jika dapat salah seorang penduduk asli Trunyan. Kemudian saya dapat kabar bahwa berhubung semua orang Trunyan tak berpendidikan maka saya hanya diberi seorang asisten bukan asal Trunyan. Percaya akan keterangan itu, maka setibanya di Denpasar orang tersebut segera saya angkat menjadi asisten saya. Ternyata orang tersebut adalah pegawai kantor Majeli~ Agama yang pernah ditugaskan oleh kantornya setahun yang lalu untuk rrurngantar sava menngadakan survei di Trunvan dan TnLyanan. dalam rangka menjajaki kemungkinan mengadakan penelitian di salah satu tempat tersebut. Dia ternyata asisten yang baik juga, hanya mempunyai kelemahan terlalu gemar ngomong. Justru kelemahannya ini, ditambah lagi dengan sifatnya yang suka berilusi menyebabkan bahwa is adalah seorang penting di majelisnya. la juga mengaku lulusan SMA, walaupun sebenarnya hanya lulusan SMP, dan lebih repot lagi kemudian saya mengetahui bahwa is sebenarnya adalah seorang pejabat agama di Denpasar dengan panggilan pemangku, bahkan seorang pemangku yang dapat kesurupan. Karma yang dilayani adalah roh-roh yang gangs, maka jika salah satu roh tersebut sedang memasuki tubuhnya, is pun dapat berlaku gangs sekali. Dengan latar belakang semacam ini, maka tak mengherankanlah jika kemudian bahan-bahan folklore yang dikumpulkan itu hampir seluruhnya di cemari dengan bahan folklore dari banjamya di Denpasar. Ini sudah tentu bukan kesalahannya, tetapi sebagian adalah kesalahan saya juga, yang kurang berhati-hati memilih seorang pembantu, dan kemudian tak sampai hati untuk memberhentikan orang yang sudah ketahuan mempunyai latar belakang seperti tersebut di atas.

Selama asisten ini berada di Trunyan, saya menjadi repot dibuatnya, sebab harus menjaga perhubungan is dengan penduduk desa. Menurut laporan, di luar pengetahuan saya is hendak mengubah agama orang Trunyan menjadi agama dari banjamya. Hal ini sangat merugikan proyek penelitian saya, karena penduduk dapat menjadi curiga, takut mau dipaksa agama lain atau lebih jelek lagi akan kehilangan harga diri, karma kebudayaan mereka telah dicela dan dikatakan masih bertaraf rendah oleh "penyebar agama" tidak resmi ini.7 Akibatnya memang saya rasakan segera, karma penduduk tidak bersedia lagi menceritakan mengenai kebudayaan mereka; semua dikatakan sama dengan kebudayaan orang Bali Hindu Dharma. Sampai pun dewa-dews yang dipuja di pura mereka dikatakan adalah Trimurti, yang kemudian ternyata tidak benar sama sekali.

Untuk memulihkan kembali penghargaan terhadap kebudayaan setempatnya, maka terpaksa saya berusaha di depan mereka mengagungkan adat-istiadat ash desa Trunyan. Orang tug Trunyan menyebut kebudayaan mereka, kebudayaan Bali Turunan sebagai lawan Bali Suku yang dianut oleh orang Bali di luar desa mereka. Mereka menyebut diri mereka sebagai orang Bali Turunan karena

7 Temyata menurut pengakuan Wakil Ketua Majelis Agama tersebut, memang secara diam-diam asisten saya ini telah diperintahkan olehnya untuk memberi penyuluhan Agama Hindu Dharma kepada orang Trunyan yang dianggap agamanya masih belum memenuhi syarat ajaran agama Hindu Dharma. menurut mitologi mereka, leluhur mereka berasal dari langit dan turun

langsung ke desa Trunyan; sedangkan orang Bali dari desa-desa di luar ` Trunyan berasal dari luar Bali dan datang ke Bali dengan berjalan kaki (suku berarti kaki). Jadi orang Trunyan adalah penduduk asli Bali sedangkan orang Bali Hindu adalah pendatang dari Jawa. Cara saya untuk menghidupkan lagi penghargaan orang Trunyan terhadap adat-istiadat mereka sendiri adalah dengan mengatakan bahwa kebudayaan Trunyan tidak lebih rendah dari kebudayaan desa-desa di Bali lainnya. Metode ini ternyata efektif sekali karma segera orang-orang desa bersedia lagi membuka pintu penghalang menjelajah kebudayaan mereka, yang sebegitu jauh masih belum diketahui orang luar. Sejak itu mereka tidak lagi berkata: "Oh! Kebudayaan kita sama dengan kebudayaan orang Bali Suku."

Walaupun maksud dari strategi ini telah saya terangkan kepada asisten saya ini, namun kemudian is toh melaporkan hal ini kepada iparnya bahwa saya sedang menjalankan kampanye untuk menonjolnonjolkan unsur ke-non-Hinduan dari agama Hindu Trunyan, sehingga sangat merisaukan wakil ketua tersebut dan timbul niat untuk menghalangi penelitian saya di Trunyan, karma takut penduduk telah saya pengaruhi untuk anti versi agarna Hindu yang ingin mereka tanamkan. Wakil Ketua tersebut sampai merasa perlu untuk datang sambil membawa seorang pedanda dari Pusat untuk menganjurkan agar penduduk tidak lagi memberi keterangan mengenai kebudayaan mereka terutama kepada orang asing. Untungnya pada waktu itu sebagian besar orang desa sudah tidak lagi menganggap saya sebagai orang asing. Hanya yang kemudian terkena provokasi adalah justru kepala desa Trunyan, sehingga untuk beberapa minggu is menjadi ketakutan setengah mati, sehingga perlu. menghentikan kegiatan pengumpulan saya 'sampai is dapat menghadap pada atasannya (Bupati Bangli dan Camat Kintamani). Untung pada waktu itu saya telah memiliki surat-surat rekomendasi penelitian dari LIPI dan surat izin dari Kementerian Dalam Negeri, sehingga hambatan-hambatan yang ditimbulkan oleh asisten saya ini dapat ditanggulangi dengan cepat. Walaupun dengan beberapa kesukaran dan insiden, asisten saya saya berhentikan saja.

Demikianlah pengalaman saya yang tidak menyenangkan akibat salah pilih asisten, tetapi dalam penelitian apalagi jika obyek penelitian saya adalah mengenai struktur kepribadian dasar orang Trunyan maka semua kejadian, juga yang tidak menyenangkan, berharga sekali karma dapat juga saya manfaatkan untuk mempelajari cara orang desa menanggulangi kesukaran yang mereka hadapi sebagai akibat pengacauan yang dilakukan oleh asisteri dari seorang peneliti, walaupun dalam praktek sukar juga, karma dalam keadaan ini kita bukan berlaku sebagai seorang pengamat tetapi sekaligus sebagai orang yang tersangkut dalam peristiwa tersebut.

Cara yang paling baik dalam suatu pen'elitian adalah untuk mempergunakan asisten yang berasal dari tempat penelitian itu sendiri, dan sekali-kali jangan dari tempat yang mempunyai adat-istiadat lain bahkan juga tidak mirip dengan adat-istiadat di tempat penelitian. Hal ini untuk menghindarkan terjadinya pencemaran bahan-bahan yang is tolong kumpulkan. Berhubung dengan kemiripan adat, maka dengan tidak sengaja is akan membuat kesimpulan sebelum is selesai mengikuti suatu upacara seluruhnya misalnya, karma dianggap toll sama dengan yang berlaku di daerahnya, dan jangan sekali-kali memakai seorang pejabat agama sebagai asisten, karma orang seperti itu biasanya mempunyai jiwa missionary, sehingga selalu bertekad untuk menyebarkan pahamnya kepada orang yang dianggap belum sempurna agamanya. Seorang asisten yang berasal dari desa yang hendak kita teliti adat-istiadatnya walaupun is juga akan memasukkan pendapat dan interpretasinya dalam bahan yang is tolong kumpulkan untuk kita, bahan tersebut masih berharga karma berasal dari pikiran penduduk desa yang hendak kita selidiki itu juga, jadi bukan merupakan pencemaran oleh sistem budaya lain.

Setelah asisten saya pergi dari Trunyan, saya lalu mempergunakan seorang asisten berasal dari Trunyan sendiri, walaupun is hanya lulusan SD tetapi lebih efektif cara bekerjanya, dan dapat saya pergunakan sebagai informan sekaligus.

Beberapa orang Bali berpendapat, bahwa agama yang dianut oleh orang desa Trunyan adalah agama Hindu dari sekte Bayu. Keterangan yang sama terbukti juga termuat dalam brosur tersebut (Rupa, 1969: 28). Demikian kesalahan dapat saja dibuat oleh orang luar, tetapi yang lebih menyulitkan adalah kalau kesalahan tadi, kemudian diambil alih orang asli dan dianggap sebagai suatu kebenaran. Hal ini aneh tetapi terjadi sehingga adalah bahaya sekali untuk menyerahkan hasil karya yang berdasarkan suatu survei yang setengah matang kepada juru bicara dari suatu desa yang pendidikannya malang tanggung dan pengetahuannya mengenai kebudayaannya sendiri juga tidak mendalam. Sehingga terdorong oleh kekagumannya terhadap seorang yang lebih terpelajar daripadanya, is kemudian secara membabi-buts menelan apa saja yang dihidangkan, kemudian tanpa dicernakan lagi dikeluarkan lagi. Saya tak dapat menyalahkan Klian Dinas tersebut yang hanya berpendidikan SD sering diminta oleh guru-guru SMA dari kota untuk memberi ceramah mengenai kebudayaan di muka murid SMA yang ratusan jumlahnya dalam waktu dua jam. Sudah tentu akan membuat is nekat untuk mengulangi saja isi buku Sdr. Rupa tersebut karena takut menyinggung perasaan pengarang tersebut atau dikatakan membohongi karena menurut pengarang, bahan buku itu berasal dari Kepala Desa itu juga. Kesimpulan ini saya buat berdasarkan kenyataan bahwa setiap tahun penuhs atau rekannya akan selalu membawa murid-murid barunya untuk mengadakan penelitian di Trunyan selama satu hari dan satu malam di Trunyan. Akibatnya kesalahan kemudian menjadi "benar" setelah dibenarkan oleh Kepala Desa Trunyan sendiri. Hal ini dapat terjadi, karena jika kemudian sewaktu memberi ceramah kepala desa tersebut sampai berani "menyeleweng" dari isi brosur tersebut, is akan ditegur oleh Para murid yang pernah membaca brosur tersebut dengan kata "lho kok menurut keterangan yang Bapak berikan dalam karangan Pak Rupa kok tidak sama?"

Bahan-bahan yang telah tercemar ini akan kita peroleh, jika masa penelitian di tempat kita hanya satu, dua bulan saja, karena pada waktu itu kita belum dapat membedakan informan-informan kita. Mana orang Trunyan asli dan yang mana yang bukan: mana jujur dan mana yang tidak. Karena desa Trunyan sejak beberapa tahun akhir-akhir ini mulai menjadi obyek turisme, maka di antara penduduk Trunyan telah muncul beberapa Pemandu Wisata (touristguide) amatir yang bertujuan mencari uang dengan memberikan keterangan-keterangan tentang adat-istiadat desa, namun sebab pengetahuan mereka mengenai kebudayaan sendiri tidak lengkap, maka mereka pun memberi keterangan-keterangan salah yang mereka peroleh dari Pemandupemandu Wisata dari luar.9

Memang biasanya warga dalam suatu masyarakat tak selalu mengetahui kebudayaan mereka sendiri secara menyeluruh. Demikian orang Trunyan belum tentu mengetahui seluruh kebudayaan Trunyan secara mendetail. C. W. von Sydow misalnya pernah mengatakan bahwa di dalam tiap masyarakat itu selalu ada pewaris kebudayaan yang aktif di samping pewaris kebudayaan yang pasif (Sydow, 1948: 11-18) dan yang passive jumlahnya sedikit sekali. Dengan mengetahui keadaan ini saya lebih berhati-hati pada waktu memilih informan saya, sehingga tidak terburu-buru waktu mencari bahan keterangan dari salah satu unsur kebudayaan atau bentuk folklore karena ternyata penyebaran pengetahuan dari salah satu bentuk folklore tidak selalu merata ke segenap anggota masyarakat. Banyak misalnya orang Trunyan yang tidak pernah mengetahui nama atau sifat-sifat dari semua dewa yang pelinggih pelinggihnya (tempat persemayamannya) berada di dalam Aura Pancering jagat Bali di Trunyan. Hal ini tidak ada salahnya asalkan tidak mereka lakukan dengan maksud untuk mencari uang, kemudian mengarang sendiri nama-nama tersebut. Celakanya dengan berkembangnya turisme, gejala buruk ini kini sedang berlaku di Trunyan.

Kesukaran lain yang -saya hadapi sewaktu mengadakan penelitian di Trunyan adalah dalam hal penyusunan kuestioner orientasi nilai budaya dan kuestioner pengasuhan anak. Kuestioner-kuestioner yang saya buat di Jakarta, walaupun sudah dialih-bahasakan ke Bahasa Bali, namun setibanya di Trunyan tidak dimengerti oleh penduduk setempat. Hal ini disebabkan karena bahasa Bali yang dipergunakan di Trunyan mengandung banyak perbendaharaan kata-kata yang tak sama, karena bahasa mereka digolongkan oleh orang Bali Hindu sebagai bahasa Bali kasai (nista). Kuestioner yang saya buat di Jakarta mempergunakan bahasa Bali pertengahan (madia), yang ternyata masih juga tidak dimengerti oleh penduduk desa Trunyan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar